KOMPAS.com - Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet viral di berbagai media sosial, terutama TikTok.
Namun judul lagu itu membawa polemik. Sebagian masyarakat menganggap penggunaan nama "Joko Tingkir" dalam judul dan lirik tidak sopan.
Jaka Tingkir memiliki nama kecil Raden Mas Karebet. Ia adalah anak Ki Ageng Penggging, keturunan Raja Majapahit yang menjadi tuan tanah di wilayah Pengging, dekat Boyolali.
Dikutip dari skripsi berjudul Peran Jaka Tingkir dalam Merintis Kerajaan Pajang 1546-1586 M yang ditulis Dede Maulana, Mas Karebet lahir diiringi dengan hujan lebat, angin kencang dan sebuah pelangi.
Baca juga: Polemik Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet Berujung Permintaan Maaf Pencipta Lagu
Ayah Mas Karabet disebut meninggal karena tak patuh pada Sultan Demak. Kala itu Ki Pengging berkali-kali diminta datang untuk menghadap ke ibu kota.
Namun Ki Pengging menolaknya dengan halus. Hingga Sunan Kudus diminta untuk menemuinya.
Ki Pengging yang dalam kondisi sakit didesak oleh Sunan Kudus untuk segera datang ke Demak. Saat Sunan Kudus pulang, Ki Ageng Pengging ditemukan tak bernyawa oleh istriya di ruang tidur.
Setelah ayah dan ibunya meninggal, Mas Karebet diasuh Nyi Ageng Tingkir yang tinggal di Desa Tingkir yang berada di lereng gunung dekat Salatiga.
Baca juga: Jaka Tingkir, Pendiri dan Raja Terhebat Kerajaan Pajang
Iapun dijuluki Joko Tingkir yang berarti pemuda dari Desa Tingkir. Mas Karebet gemar bertapa dan guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga.
Joko Tingkir juga belajar pada Ki Ageng Selo dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yakni Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi.
Walau pihak Demak bertanggungjawab atas kematian ayahnya, Jaka Tingkir tetap ingin mengabdi ke ibu kota Demak.
Sultan Trenggono pun simpati ke Joko Tingkir dan mengangkatnya sebagai kepala prajurit Demak dengan pangkat Lurah Wiratamtama.
Ia bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Suatu hari ada pelamar yang datang bernama Dadung Awuk yang sombong dan suka pamer.
Baca juga: Kerajaan Pajang: Pendiri, Raja-raja, Kemunduran, dan Peninggalan
Joko Tingkir pun menguji kesaktiannya dan akhirnya, Dadung Awuk tewas. Akibat kejadian tersebut, Joko Tingkir dipecat dan diusir dari Demak.
Pemuda berani itu kemudian memutuskan mengembara untuk memperdalam ilmu bela diti.
Ia juga menimba ilmu dari saudara seperguruan sang ayah yang bernama Ki Ageng Banyubiru yang tinggal di Sukoharjo.
Oleh sang guru, Jaka Tingkir diberi ilmu Ajian Lebu Sekilan yang bisa melindungi tubuhnya dari serangan musuh dalam batas satu jengkal jari. Ia pun berencana mengambil lagi kedudukannya.
Suatu hari saat Sultan Trenggono wisata di pegunungan, Joko Tingkir melepas kerbau besar yang mengamuk karena di telinganya telah dimasukkan kumbang.
Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Pajang
Kerbau itu mengamuk dan menyerang pesanggrahan Sang Sultan. Tak ada satu pun prajurit yang mampu menghentikannya.
Joko Tingkir pun tampil menjinakkan kerbau dengan kekuatannya.
Atas jasanya, Sang Sultan menjodohkan Joko Tinggkir dengan anaknya, Putri Mas Cempaka. Ia juga melatik Joko Tingkir sebagai Adipati Pajang.
Pajang pun menjadi basis keislaman baru di Tanah jawa sesuai dengan kaedah yang didapatkan dari para guru, salah satunya Sunan Kalijaga.
Tahta Demak pun menjadi rebutan. Keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen yang dibunuh Sunan Prawoto (putera sulung Sultan Trenggono) masih menyimpan dendam.
Ia adalah Arya Penangsang yang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan karena Pengeran Sekar Seda Lepen adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor.
Arya Penangsang pun berencana membunuh Pangeran Prawoto dan mendudukin tahta Kerajaan Demak.
Joko Tingkir memiliki peran besar terkait konflik itu. Ia berhasil menangkap para urusan Arya Penangsang.
Baca juga: Kisah Arya Penangsang Asal Jawa Tengah: Rasa Dendam yang Berujung Petaka
Bukannya dibunuh, Joko Tingkir malah memberikan hadiah dan pakaian lalu menyuruh para utusna pulang dengan baik-baik
"Kebijaksanaan lain Jaka Tingkir yaitu ketika terjadi perselisihan perebutan kekuasaan antara Pajang dan Mataram. Joko Tingkir mengalah tidak memerangi Pajang dan pulang kembali ke istananya," tutur Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Profesor Bani Sudardi dikutip dari pemberitaan Kompas.com.
Sepeninggal Arya Penangsang, tahun 1568 Jaka Tingkir mendapat restu dari Sunan Kudus menjadi Sultan di Pajang.
Ia pun menggunakan gelar Sultan Hadiwijaya saat memimpin Kesultanan Pajang didampingin permaisuri, Ratu Mas Cempaka yang tak lain putri Sultan Trenggono.
Jaka Tingkir diangkat jadi Sultan karena jasanya yang berhasil menyelesaikan konflik di Kerajaan Demak dan karena ia keturunan dari keluarga Kerajaan Majapahit.
Baca juga: Sultan Trenggono, Raja Demak yang Menaklukkan Majapahit
Profesor Bani Sudardi mengatakan dalam tata budaya Jawa, nama Jaka Tingkir atau Joko Tingkir dinilai perlu dijaga dan disebutkan secara hormat.
Sebab, Joko Tingkir adalah salah satu dari sultan yang pernah berkuasa di tanah Jawa ini.
Bani menambahkan, hingga saat ini garis keturunan (trah) Joko Tingkir masih tetap eksis. Salah satunya adalah Presiden keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang disebut sebagai cucu generasi keenam dari Joko Tingkir.
"Saya kira, menggunakan namanya sebagai bagian dari lagu perlu meminta izin dari trah Jaka Tingkir agar tidak terjadi salah paham dan saling menghormati antar sesama tokoh," pungkas Bani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.