Dua puluh seniman dari berbagai komunitas ikut berpartisipasi dalam membuat mural. Namun ada juga poster yang bernada pro penambangan.
Antara warga yang pro dan kontra terjadi konflik psikologis, yang mengganggu hubungan kekerabatan.
Sebagian warga dikabarkan menghindar untuk berkumpul dengan warga lain yang berbeda pendapat soal lahan itu, misalnya dalam acara hajatan perkawinan dan pengajian. Saling robek poster juga dikabarkan terjadi.
Kehadiran aparat dan penahanan warga di Desa Wadas pada hari itu mengundang berbagai pihak luar desa untuk melakukan protes.
Beberapa aktivis, terutama mahasiswa, menyuarakan aspirasi warga yang menolak dengan melakukan unjuk rasa di beberapa kota.
Di media sosial beredar kicauan yang menyoroti kejadian itu. Beberapa tagar yang sempat trending antara lain #WadasMelawan, #SaveWadas, #WadasTolakTambang.
Media cetak dan televisi menampilkan liputan, wawancara dan dialog untuk mengupas insiden di Desa Wadas itu.
Para ahli menganalis kasus itu dari berbagai sudut pandang: hukum, psikologi sosial, hak asasi manusia, infrastruktur inklusif, konflik vertikal, otoritarianisme, dsb.
Kasus-kasus pertanahan untuk keperluan pembangunan infrastruktur, seperti bendungan dan jalan raya, sudah sering terjadi di negeri ini.
Namun sejak ditetapkannya UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kasus-kasus itu sudah banyak berkurang.
Terdapat aturan yang melindungi pemilik lahan dari pembebasan lahan secara paksa oleh negara.
Keberatan warga diakui dengan prosedur pengajuan gugatan kepada pemerintah dengan keputusan pengadilan yang ditetapkan jangka waktunya.
Ada kepastian dalam proses penetapan harga lahan yang sering menjadi pokok masalah terhambatnya pembangunan infrastruktur.
Namun perkara yang jarang dipraktikkan terkait konflik pertanahan adalah komunikasi antarberbagai pihak terkait.
Pemerintah terkesan bertindak sesuai prosedur standar: pengumuman, sosialisasi, lalu eksekusi. Adapun warga menginginkan penjelasan, keterbukaan lalu kesepakatan.