Uang itu untuk ganti rugi tanahnya yang menjadi bagian dari area penambangan batu andesit seluas 124 hektar.
Batu andesit di lahan itu akan dikeruk untuk keperluan pembangunan waduk di Jawa Tengah bagian selatan.
Bendungan Bener adalah satu dari 48 proyek waduk yang ditetapkan pemerintah sebagai proyek strategis nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020.
Bendungan itu ditujukan untuk mengairi sawah seluas 15.000 hektar, memasok air baku sebanyak 1,60 meter per detik, dan membangkitkan tenaga listrik sebesar 6 MW.
Pembangunan bendungan senilai Rp 2 triliun itu merupakan tugas Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang dilaksanakan oleh tiga BUMN, yaitu PT Brantas Abipraya, PT PP, dan PT Waskita Karya.
Pada Selasa, 8 Februari 2022 dan beberapa hari sesudahnya, Desa Wadas menjadi sorotan media regional dan nasional.
Pasalnya, telah terjadi kerusuhan saat 250-an aparat polisi, tentara dan Satpol PP mendatangi Desa Wadas.
Aparat itu mendampingi petugas pengukuran tanah milik warga yang bersedia tanahnya dimanfaatkan untuk keperluan penambangan batu andesit.
Para pemilik 353 bidang tanah menyetujui penambangan dan pemilik 264 bidang tanah menolak.
Sehari sebelum kejadian itu petugas berhasil mengukur 70 persen luas lahan yang perlu diukur untuk perhitungan ganti rugi.
Keterlibatan polisi dalam proses pengukuran lahan karena ada permintaan dari Kementerian Pekerjan Umum dan Perumahan Rakyat No UM 0401.AG.3.4/45 tanggal 3 Februari 2022 tentang pengamanan pelaksanaan pengukuran lahan di Desa Wadas.
Untuk mencegah konflik semakin parah karena menyangkut dua kelompok massa yang pro dan kontra penambangan, terjadilah penangkapan 60-an warga dan aktivis oleh Polres setempat.
Mereka tidak ingin dipaksa untuk melepaskan tanahnya karena beberapa pertimbangan, antara lain merusak ekosistem, berkurangnya kesuburan tanah, dan hilangnya sumber mata pencaharian.
Sikap warga itu diungkapkan melalui mural, coretan dan poster di tembok-tembok rumah, dinding jembatan, badan jalan, dll.
Dua puluh seniman dari berbagai komunitas ikut berpartisipasi dalam membuat mural. Namun ada juga poster yang bernada pro penambangan.
Antara warga yang pro dan kontra terjadi konflik psikologis, yang mengganggu hubungan kekerabatan.
Sebagian warga dikabarkan menghindar untuk berkumpul dengan warga lain yang berbeda pendapat soal lahan itu, misalnya dalam acara hajatan perkawinan dan pengajian. Saling robek poster juga dikabarkan terjadi.
Kehadiran aparat dan penahanan warga di Desa Wadas pada hari itu mengundang berbagai pihak luar desa untuk melakukan protes.
Beberapa aktivis, terutama mahasiswa, menyuarakan aspirasi warga yang menolak dengan melakukan unjuk rasa di beberapa kota.
Di media sosial beredar kicauan yang menyoroti kejadian itu. Beberapa tagar yang sempat trending antara lain #WadasMelawan, #SaveWadas, #WadasTolakTambang.
Media cetak dan televisi menampilkan liputan, wawancara dan dialog untuk mengupas insiden di Desa Wadas itu.
Para ahli menganalis kasus itu dari berbagai sudut pandang: hukum, psikologi sosial, hak asasi manusia, infrastruktur inklusif, konflik vertikal, otoritarianisme, dsb.
Kasus-kasus pertanahan untuk keperluan pembangunan infrastruktur, seperti bendungan dan jalan raya, sudah sering terjadi di negeri ini.
Namun sejak ditetapkannya UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kasus-kasus itu sudah banyak berkurang.
Terdapat aturan yang melindungi pemilik lahan dari pembebasan lahan secara paksa oleh negara.
Keberatan warga diakui dengan prosedur pengajuan gugatan kepada pemerintah dengan keputusan pengadilan yang ditetapkan jangka waktunya.
Ada kepastian dalam proses penetapan harga lahan yang sering menjadi pokok masalah terhambatnya pembangunan infrastruktur.
Namun perkara yang jarang dipraktikkan terkait konflik pertanahan adalah komunikasi antarberbagai pihak terkait.
Pemerintah terkesan bertindak sesuai prosedur standar: pengumuman, sosialisasi, lalu eksekusi. Adapun warga menginginkan penjelasan, keterbukaan lalu kesepakatan.
Dalam kasus insiden di Desa Wadas itu, tidak terbentuk titik temu antara pemerintah dengan rakyat.
Seyogianya ada komunikasi yang terbuka, di mana ada pemerintah, warga, dan para ahli, yaitu praktisi/akademisi/peneliti.
Pada forum-forum itu dibahas segala sesuatu tentang proyek terkait, termasuk tujuan, manfaat, pelaksanaan, pengajuan keberatan, proses ganti rugi, kajian-kajian pendukung, dan sebagainya.
Di samping itu, informasi, masukan dan keberatan juga terbuka bagi masyarakat luas melalui media elektronika.
Semua itu dicatat, ditanggapi dan diumumkan. Intinya adalah perlu ada komunikasi dua arah yang berulang-ulang.
Dengan komunikasi yang intensif, setelah mendengarkan informasi dari berbagai pihak, maka warga terkait dapat berembug dan kemudian mengambil keputusan yang terbaik.
Jika tidak setuju, ada mekanisme pengadilan berjenjang yang akan memberikan keputusan final.
Komunikasi perlu menjadi tahapan utama dalam proses pengadaan lahan untuk kepentingan umum, seperti penambangan batu andesit dalam rangka pembangunan bendungan di desa Wadas itu. Insiden di Desa Wadas tidak selayaknya terjadi lagi.
Dengan komunikasi dua arah, warga yang keberatan diharapkan akan legawa menerima keputusan pengadilan, dan yang sepakat akan mendapat ganti rugi yang menguntungkan, seperti pria yang disebut di awal tulisan ini.
https://regional.kompas.com/read/2022/06/05/073000278/refleksi-kasus-wadas--komunikasi-dan-komunikasi