Namun naasnya, penghentian ekspor nikel mentah bagi penambang lokal memiliki arti kehilangan margin keuntungan yang signifikan karena harga di pasar global jauh lebih tinggi ketimbang harga beli smelter lokal.
Sementara pemerintah tidak berdaya menghadapi oligarki smelter penentu harga.
Tata kelola seperti ini jelas sangat merugikan penambang lokal dan hanya menguntungkan para pemilik smelter, yaitu para pemodal dari luar yang berbagi keuntungan dengan jejaring pemilik modal domestik yang mendapat konsesi khusus dari pemerintah.
Menjadi tidak menguntungkan bagi Indonesia karena biasanya smelter hanya melakukan proses penambahan nilai nikel sekadarnya di Indonesia untuk diekspor kembali ke negara asal para investor smelter.
Artinya, Indonesia rugi dua kali. Pertama, penambang lokal kehilangan kesempatan mendapatkan harga yang tinggi karena harus menjual nikel mentah dengan harga rendah.
Kedua, pemilik smelter mengantongi keuntungan besar dari aktifitas penambahan nilai nikel yang akan dibawanya kembali ke perusahaan induknya di negara asalnya dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Jadi di tataran realitas, tata kelola mineral yang ada sekarang bukanlah perkara mendukung nilai tambah industri nasional, tapi justru menjadi perkara penghentian nilai ekonomi yang selayaknya dinikmati penambang-penambang lokal di satu sisi dan perkara memperkaya pemilik modal besar, baik dari luar negeri maupun domestik, di sisi lain.
Di sini terlihat jelas bahwa pemerintah menarasikan tujuan yang mulia dangan mengambil posisi berdiri yang merugikan masyarakat lokal sehingga tujuan mulianya justru dirasakan oleh pihak yang salah.
Dari sisi kelestarian lingkungan juga berlangsung kondisi lebih dramatis. Para pelaku perjalanan trans Sulawesi akan dengan mudah menemukan pemandangan laut yang dulunya biru kini telah berubah warna menjadi kecolekatan dan keruh akibat tercemar lumpur erosi yang dibawa dari lahan-lahan bekas tambang nikel di daerah Konawe Utara.
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Riset Walhi Sulawesi Tengah menyatakan bahwa hampir seluruh wilayah pesisir Kecamatan Bungku Timur, Bahodopi, dan Bungku Pesisir telah tercemar limbah penambangan nikel.
Sisa galian ore kemudian mengendap menjadi lumpur di dasar laut dan mencemari ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan ekosistem laut di tiga kecamatan tersebut.
Bahkan limbah tersebut terbawa arus sampai ke wilayah pulau-pulau kecil di Kecamatan Bungku Selatan.
Nyaris tidak ada kegiatan rehabilitasi lahan tambang yang dilakukan oleh perusahaan, pun nihil tindakan dari pemerintah.
Tangkapan nelayan berkurang drastis, dan karena tidak berdaya mereka terpaksa berpindah ke tempat yang lebih jauh untuk mendapatkan ikan.
Ini artinya biaya melaut lebih besar dan risiko keselamatan yang lebih tinggi bagi mereka.