“Tapi anak-anak saya lebih suka bekerja di pabrik,” aku Bonawi.
Bonawi mengatakan, gerabah buatannya yang paling mahal adalah padasan. Harganya mencapai Rp 50.000.
Sementara itu, tokoh masyarakat Langenharjo Kendal, Sapto Gembong mengatakan, perajin gerabah sudah ada diperkirakan berbarengan dengan pecahnya Kerajaan Mataram dan ditangkapnya Pangeran Diponegoro.
“Kemudian, pasukannya menyebar dan di kawasan yang ada di Kabupaten Kendal. Di antaranya di Langenharo, yang kemudian menjadi perajin gerabah,” ujar Gembong.
Gerabah, menurut Gembong, pada saat itu menjadi alat rumah tangga yang dibutuhkan masyarakat, cepat berkembang di pasar.
Baca juga: Polisi Masih Selidiki Kasus Pembunuhan yang Tewaskan Ibu di Kendal
Memasuki masa kolonial, gerabah terus bertahan, hingga tahun 80-an.
“Pada awal tahun 90-an, setelah di Kendal didirikan beberapa pabrik, membuat generasi mudanya memilih bekerja di pabrik tersebut. Mereka sepertinya lebih bangga menggunakan seragam bersih dan kerjanya diantar jemput,” ujar Sapto.
Gembong menambahkan, dari data yang ia kumpulkan beberapa tahun lalu, masih ada 17 perajin gerabah yang masih bertahan di Kampung Langenharjo.
“Mungkin sekarang sudah berkurang lagi,” kata Gembong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.