Salin Artikel

Kisah Rusmadi, 60 Tahun Lebih Bertahan sebagai Perajin Gerabah

KENDAL, KOMPAS.com - Gerabah merupakan perkakas yang terbuat dari tanah liat atau lempung yang dibentuk, kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang berguna membantu kehidupan manusia.

Gerabah ini, biasanya berbentuk wadah, di antaranya tungku, gentong, cuek, vas bunga, kendil, dan lainnya.

Di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, berpuluh tahun lalu, ada kampung yang hampir semua warganya membuat gerabah.

Namanya Kampung Langenharjo, di Kecamatan Kendal.

Namun, seiring perkembangan zaman, keturunan perajin gerabah tersebut, satu per satu sudah memilih pekerjaan lain. Seperti bekerja di pabrik atau lainnya.

Salah satu perajin gerabah Kampung Langenharjo yang hingga kini masih bertahan yakni Rusmadi (69).

Sejak ia berumur 7 tahunan, kata Rusmadi, dia sudah menjadi perajin gerabah.

“Nenek, orangtua dan tetangga saya, semuanya perajin gerabah. Mula-mula, saya hanya membantu, lama-lama saya jadikan pekerjaan tetap,” kata Rusmadi, pada Minggu (27/3/2022).

Rusmadi mengatakan, masyarakat Langenharjo Kendal, dulu hampir semuanya pengrajin gerabah.

Hasil kerajinannya dibeli oleh pedagang dari luar kota. Kini, satu per satu para perajin sudah banyak yang meninggal dunia dan keturunannya tidak mau meneruskan.

Mungkin, menurut Rusmadi, karena membuat gerabah adalah pekerjaan kotor, jadi banyak anak muda yang memilih pekerjaan lain.

Apalagi, sekarang pesanan gerabah tidak seperti dulu lagi, sehingga hasilnya kurang untuk makan keluarga sebulan.

“Di samping itu, banyak masyarakat yang mengganti gerabah dengan alumunium dan plastik,” ujar Rusmadi.


Rusmadi mengaku, membuat gerabah memerlukan kesabaran dan keterampilan.

Sebab, bila tidak, gerabah buatannya tidak seimbang dan pecah.

Membuat gerabah dimulai dari menyiapkan bahannya dulu, yaitu campuran tanah liat dan pasir sungai yang lembut.

Setelah itu, membentuk tanah liat yang sudah dicampur itu, sesuai dengan keinginan.

Apakah perajin ingin membuat kendil tungku, atau lainnya. Setelah jadi, dijemur sampai kering dan kemudian dibakar.

“Lama membuatnya, tergantung besar kecil dan tingkat kesulitannya,” ujar Rusmadi.

Rusmadi menegaskan, ia bertahan menjadi perajin gerabah karena peninggalan nenek moyang.

Rusmadi tidak mau mencari pekerjaan lain, meskipun gerabah mulai kalah dengan produk yang terbuat dari plastik dan aluminium.

“Saya punya satu anak, dan anak saya juga menjadi perajin gerabah. Dia nanti yang meneruskan pekerjaan kami,” ujar Rusmadi.

Gerabah buatannya Rusmadi dibeli oleh pedagang dari Kendal sendiri dan daerah lain.

Rusmadi juga pernah mendapat pesanan tempat penggorengan dan cuek dari salah satu rumah makan yang ada di Kalimantan.

“Selama pandemi, saya sering mendapat pesanan gentong, untuk cuci tangan,” kata Rusmadi.

Hampir sama dengan Rusmadi, Bonawi (72), bertahan menjadi perajin gerabah juga karena ingin mempertahankan warisan nenek moyang.

Meskipun 3 anaknya lebih memilih bekerja di pabrik.


“Tapi anak-anak saya lebih suka bekerja di pabrik,” aku Bonawi.

Bonawi mengatakan, gerabah buatannya yang paling mahal adalah padasan. Harganya mencapai Rp 50.000.

Sementara itu, tokoh masyarakat Langenharjo Kendal, Sapto Gembong mengatakan, perajin gerabah sudah ada diperkirakan berbarengan dengan pecahnya Kerajaan Mataram dan ditangkapnya Pangeran Diponegoro. 

“Kemudian, pasukannya menyebar dan di kawasan yang ada di Kabupaten Kendal. Di antaranya di Langenharo, yang kemudian menjadi perajin gerabah,” ujar Gembong. 

Gerabah, menurut Gembong, pada saat itu menjadi alat rumah tangga yang dibutuhkan masyarakat, cepat berkembang di pasar.

Memasuki masa kolonial, gerabah terus bertahan, hingga tahun 80-an.

“Pada awal tahun 90-an, setelah di Kendal didirikan beberapa pabrik, membuat generasi mudanya memilih bekerja di pabrik tersebut. Mereka sepertinya lebih bangga menggunakan seragam bersih dan kerjanya diantar jemput,” ujar Sapto.

Gembong menambahkan, dari data yang ia kumpulkan beberapa tahun lalu, masih ada 17 perajin gerabah yang masih bertahan di Kampung Langenharjo. 

“Mungkin sekarang sudah berkurang lagi,” kata Gembong.

https://regional.kompas.com/read/2022/03/27/173944878/kisah-rusmadi-60-tahun-lebih-bertahan-sebagai-perajin-gerabah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke