Rusmadi mengaku, membuat gerabah memerlukan kesabaran dan keterampilan.
Sebab, bila tidak, gerabah buatannya tidak seimbang dan pecah.
Membuat gerabah dimulai dari menyiapkan bahannya dulu, yaitu campuran tanah liat dan pasir sungai yang lembut.
Setelah itu, membentuk tanah liat yang sudah dicampur itu, sesuai dengan keinginan.
Apakah perajin ingin membuat kendil tungku, atau lainnya. Setelah jadi, dijemur sampai kering dan kemudian dibakar.
“Lama membuatnya, tergantung besar kecil dan tingkat kesulitannya,” ujar Rusmadi.
Rusmadi menegaskan, ia bertahan menjadi perajin gerabah karena peninggalan nenek moyang.
Baca juga: Kendal Turun ke PPKM Level 2, Plt Dinkes: Saya Terima Kasih kepada Masyarakat
Rusmadi tidak mau mencari pekerjaan lain, meskipun gerabah mulai kalah dengan produk yang terbuat dari plastik dan aluminium.
“Saya punya satu anak, dan anak saya juga menjadi perajin gerabah. Dia nanti yang meneruskan pekerjaan kami,” ujar Rusmadi.
Gerabah buatannya Rusmadi dibeli oleh pedagang dari Kendal sendiri dan daerah lain.
Rusmadi juga pernah mendapat pesanan tempat penggorengan dan cuek dari salah satu rumah makan yang ada di Kalimantan.
“Selama pandemi, saya sering mendapat pesanan gentong, untuk cuci tangan,” kata Rusmadi.
Hampir sama dengan Rusmadi, Bonawi (72), bertahan menjadi perajin gerabah juga karena ingin mempertahankan warisan nenek moyang.
Meskipun 3 anaknya lebih memilih bekerja di pabrik.