Massa yang diduga pendukung pasangan Erdi Dabi-Jhon Wilil juga menutup akses jalan. Akibat aksi tersebut, kerugian materil diperkirakan mencapai Rp 324 miliar.
Melihat kondisi tersebut, Antropolog Universitas Cenderawasih Enrico Yori Kondologit mengaku terkejut dengan aksi massa di Yalimo.
Menurut Enrico yang sempat melakukan penelitian di Yalimo pada 2013, sebagian besar warga Yalimo yang merupakan masyarakat Suku Yali jarang terlibat dalam aksi perusakan karena cenderung bermusyawarah.
Namun karena ada unsur politik praktis, Enrico melihat masyarakat ikut terprovokasi.
"Masyarakat Yali sebenarnya secara kebudayaan mirip dengan warga pesisir, proses penyelesaian permasalahan atau sengketa biasanya lebih adem, tetapi tidak tahu kenapa ketika adat/budaya dimergerkan ke dalam politik praktis, dampaknya seperti sekarang ini," kata dia.
"Padahal Suku Yali ini adalah orang-orang yang cepat beradaptasi dengan suku lain dan ramah. Jadi yang sedang terjadi penyelesaian konflik tidak dilakukan dengan pendekatan budaya, tetapi secara kekerasan yang sebenarnya bukan bagian dari budaya mereka," sambung Enrico.
Dengan sistem kesukuan dan kekerabatan yang sangat erat, terang Enrico, masyarakat Yali sama dengan suku lain di Papua, sangat terikat dengan tokoh yang dijadikan figur pemimpin.
Oleh karena itu, ketika sang pemimpin terkena masalah, maka dengan cepat masyarakat memberikan dukungan.
Baca juga: PSU Pilkada Yalimo Digelar 26 Januari, KPU Papua: Kita Harapkan Ini yang Terakhir...
"Masyarakat hanya terprovokasi, mereka melihat seorang figur yang ketika figur tersebut mempunyai masalah maka masyarakat yang dibawah tanpa berpikir masalahnya seperti apa langsung terlibat aktif dalam kegiatan tersebut," tuturnya.
Ia pun melihat masih adanya potensi aksi massa jika MK kembali memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) di Pilkada Yalimo.
Oleh karena itu, upaya pencegahan dengan pendekatan budaya harus dilakukan menjelang putusan MK.
"Kalau melihat dari rekam jejaknya, apabila MK kembali memutuskan PSU, saya rasa demikian (kembali terjadi aksi massa). Jadi kami juga akan mengusulkan supaya sebelum ada keputusan dari MK harus ada pendekatan budaya dulu jadi ketika MK keluarkan putusan maka masyarakat sudah bisa terima," kata Enrico.
Pembangunan Terhenti
Sejak terjadi aksi massa di Distrik Elelim, aktivitas pemerintah dan masyarakat terhenti cukup lama karena massa memblokade jalan.
Hal ini yang kemudian disayangkan oleh Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Kabupaten Yalimo (HPKY) Gibson Wandik.
Ia menyebut, konflik politik berkepanjangan di Yalimo membuat masyarakat kesulitan mengakses layanan publik.
"Semua berhenti, sekolah tidak ada, yang sakit harus berobat ke Wamena atau Jayapura," kata Gibson yang saat ini berkuliah di Universitas Cenderawasih.