Salin Artikel

Pilkada Yalimo Tak Kunjung Usai, 3 Kali Gugatan di MK hingga Masyarakat Jadi Korban Konflik Politik

Dalam prosesnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah dua kali memerintahkan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Bahkan keputusan terakhir yang memutuskan PSU total dan diskualifikasi salah satu calon bupati, berujung pada aksi pembakaran sejumlah fasilitas umum dan rumah warga.

Kini, hasil rekapitulasi penghitungan suara PSU kedua yang dilakukan pada 30 Januari 2022 di Distrik Elelim kembali digugat oleh Pasangan Calon Lakius Peyon-Nahum Mabel.

Menggugat Waktu Pelaksanaan PSU

Kuasa Hukum Pasangan Calon Lakius Peyon-Nahum Mabel Yance Tenoye menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi materi gugatan ke MK.

Ia menegaskan, bukan hasil perolehan suara yang menjadi inti gugatan, melainkan waktu pelaksanaan PSU.

"Pasca putusan 145 itu, MK memberikan waktu pelaksanaan (PSU) itu 120 hari yang berakhir pada 17 Desember 2021, lalu KPU melakukan tahapan lebih dari 120 hari karena pemungutan suara baru dilakukan pada 26 Januari 2022," ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (14/02/2022).

Hal tersebut yang kemudian dilihat tim Lakius Peyon-Nahum Mabel sebagai sebuah pelanggaran.

"Menurut kami KPU tidak melaksanakan tahapan, kalaupun tahapan dilakukan sudah lewat dari 120 hari. Kami beranggapan KPU tidak melaksanakan tahapan sesuai amar putusan 145," kata dia.

Yance menyebut, Lakius Peyon sebagai calon petahana memikirkan dampak konflik politik yang berkepanjangan bagi masyarakat Yalimo.

Namun, penegakan demokrasi agar masyarakat juga bisa mendapat pengalaman dari pesta demokrasi yang taat hukum, dianggapnya menjadi hal lebih penting.

"Sebenarnya Pak Lakius sudah berjiwa besar menerima, artinya (sekarang) kita tegakan demokrasi karena pelaksanaan ini sudah keluar dari Putusan 145 maka sebagai warga negara yang taat hukum, kita ikuti saja aturannya," kata Yance.

"Artinya setiap keputusan KPU kenapa dibatalkan MK terus, jadi sebenarnya persoalan ada di KPU, jadi kalau KPU jalan netral tidak ada masalah," tambahnya.

Selain itu, Yance juga mengetahui ada materi gugatan lain mengenai hasil perolehan suara di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS).

"Mengenai gugatan perolehan suara itu hanya alternatif saja," katanya.

Masyarakat Terdampak Konflik Politik

Konflik politik di Yalimo sempat memanas saat MK mengabulkan gugatan Lakius Peyon-Nahum Mabel untuk mendiskualifikasi pasangan Erdi Dabi-Jhon Wilil dari Pilkada Yalimo pada  29 Juni 2021.

MK juga memerintahkan KPU Yalimo melaksanakan pilkada ulang mulai dari tahapan pendaftaran peserta.

Erdi Dabi terjerat kasus hukum setelah terlibat insiden kecelakaan lalu lintas di Kota Jayapura pada 16 September 2020.

Pascaputusan MK tersebut, massa membakar beberapa kantor dan kios di Distrik Elelim pada Selasa (29/6/2021).

Sejumlah gedung pemerintah terbakar, di antaranya Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kantor BPMK, Kantor Dinas Perhubungan, Kantor Dinas Kesehatan, Kantor DPRD, Kantor Gakkumdu, dan Bank Papua.


Massa yang diduga pendukung pasangan Erdi Dabi-Jhon Wilil juga menutup akses jalan. Akibat aksi tersebut, kerugian materil diperkirakan mencapai Rp 324 miliar.

Melihat kondisi tersebut, Antropolog Universitas Cenderawasih Enrico Yori Kondologit mengaku terkejut dengan aksi massa di Yalimo.

Menurut Enrico yang sempat melakukan penelitian di Yalimo pada 2013, sebagian besar warga Yalimo yang merupakan masyarakat Suku Yali jarang terlibat dalam aksi perusakan karena cenderung bermusyawarah.

Namun karena ada unsur politik praktis, Enrico melihat masyarakat ikut terprovokasi.

"Masyarakat Yali sebenarnya secara kebudayaan mirip dengan warga pesisir, proses penyelesaian permasalahan atau sengketa biasanya lebih adem, tetapi tidak tahu kenapa ketika adat/budaya dimergerkan ke dalam politik praktis, dampaknya seperti sekarang ini," kata dia.

"Padahal Suku Yali ini adalah orang-orang yang cepat beradaptasi dengan suku lain dan ramah. Jadi yang sedang terjadi penyelesaian konflik tidak dilakukan dengan pendekatan budaya, tetapi secara kekerasan yang sebenarnya bukan bagian dari budaya mereka," sambung Enrico.

Dengan sistem kesukuan dan kekerabatan yang sangat erat, terang Enrico, masyarakat Yali sama dengan suku lain di Papua, sangat terikat dengan tokoh yang dijadikan figur pemimpin.

Oleh karena itu, ketika sang pemimpin terkena masalah, maka dengan cepat masyarakat memberikan dukungan.

"Masyarakat hanya terprovokasi, mereka melihat seorang figur yang ketika figur tersebut mempunyai masalah maka masyarakat yang dibawah tanpa berpikir masalahnya seperti apa langsung terlibat aktif dalam kegiatan tersebut," tuturnya.

Ia pun melihat masih adanya potensi aksi massa jika MK kembali memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) di Pilkada Yalimo.

Oleh karena itu, upaya pencegahan dengan pendekatan budaya harus dilakukan menjelang putusan MK.

"Kalau melihat dari rekam jejaknya, apabila MK kembali memutuskan PSU, saya rasa demikian (kembali terjadi aksi massa). Jadi kami juga akan mengusulkan supaya sebelum ada keputusan dari MK harus ada pendekatan budaya dulu jadi ketika MK keluarkan putusan maka masyarakat sudah bisa terima," kata Enrico.

Pembangunan Terhenti

Sejak terjadi aksi massa di Distrik Elelim, aktivitas pemerintah dan masyarakat terhenti cukup lama karena massa memblokade jalan.

Hal ini yang kemudian disayangkan oleh Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Kabupaten Yalimo (HPKY) Gibson Wandik.

Ia menyebut, konflik politik berkepanjangan di Yalimo membuat masyarakat kesulitan mengakses layanan publik.

"Semua berhenti, sekolah tidak ada, yang sakit harus berobat ke Wamena atau Jayapura," kata Gibson yang saat ini berkuliah di Universitas Cenderawasih.


Ia masih bersyukur karena program bantuan biaya pendidikan masih tetap berjalan meski situasi di Yalimo belum kondusif.

Gibson pun meminta para elite politik dan aparatur pemerintahan untuk bersikap profesional.

Menurut dia, walau konflik politik tengah terjadi di Yalimo, tetapi roda pemerintahan harus tetap berjalan karena kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda.

"Antara politik dan pemerintahan itu dua urusan berbeda, jadi seharusnya semua tetap berjalan karena masyarakat membutuhkan layanan," kata dia.

Gibson pun berharap konflik politik di Yalimo dapat segera selesai sehingga roda pembangunan dapat segera berjalan.

"Pembangunan dikorbankan karena politik, ini harus segera selesai," katanya.

Diperlukan Pendekatan Regulasi yang Masif

Apa yang terjadi di Yalimo, dianggap Anggota Komisioner Bawaslu Papua Ronald Manoach sebagai bentuk ketidakpahaman masyarakat terhadap regulasi pilkada.

Konflik politik berkepanjangan di Yalimo, kataka dia, sebagai kasus pertama di Indonesia sehingga semua pihak terkait harus bisa melakukan evaluasi.

"Ini kasus pertama di Indonesia dan memang kami sudah menyarankan pada rapat evaluasi  agar bersama Menkopolhukam agar semua pihak melakukan evaluasi dalam kaitan pendekatan regulasi agar jangan di 2024 tidak terjadi lagi hal yang sama," kata Ronald.

Ia berharap semua pihak terkait saling bahu membahu mengedepankan upaya pencegahan agar konflik yang terjadi di Yalimo tak terulang.

https://regional.kompas.com/read/2022/02/15/065833178/pilkada-yalimo-tak-kunjung-usai-3-kali-gugatan-di-mk-hingga-masyarakat-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke