Untuk menambah pendapatan keluarga, Egi harus bekerja serabutan, seperti membantu orang mengangkat batu bata dan membantu membajak sawah.
"Saya kerja itu mulai kelas VI SD. Saya biasa kerja bajak orang punya sawah, tanam padi, dan kerja apa saja yang bisa menghasilkan uang," katanya.
"Dari pekerjaan-pekerjaan itu, saya dapat upah Rp 10.000 hingga Rp 20.000," lanjut Egi.
Kompas.com bekerja sama dengan Kitabisa.com menggalang dana untuk membantu perjuangan Egi
Anda bisa mengirimkan donasi dengan klik di sini
Uang penghasilannya dipakai untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Kakak-kakaknya masih mengirim uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Kalau uang sekolah dikirim oleh kakak yang kerja di Malaysia. Begitu juga untuk beli beras dan kebutuhan lainnya di rumah. Kadang uang yang kakak kirim itu tidak cukup untuk penuhi kebutuhan kami," ujarnya, sambil menambahkan bahwa hingga saat ini, ia dan Linda belum mendapat bantuan Program Indonesia Pintar (PIP).
Kakak Egi, Linda yang tinggal di asrama SMK, masih bisa pulang saat libur.
Linda yang kebetulan sedang berada di rumahnya menceritakan, dirinya tidak bisa membantu adiknya setiap hari.
"Saya sebenarnya tidak tega untuk tinggal jauh dari mereka, tetapi mau bagaimana lagi. Saya tidak bisa jalan tujuh kilometer pergi pulang sekolah," katanya.
Selama ibunya sakit, baru sekali petugas kesehatan datang berkunjung dan memberikan obat.
"Sekitar dua bulan lalu petugas kesehatan datang antar obat. Mama tidak mau minum itu obat. Sampai saat ini, mereka tidak pernah datang lagi," kata Egi.
Egi dan Linda berharap agar petugas kesehatan dan pemerintah memperhatikan kondisi ibu mereka.
"Kami ingin mama sehat seperti dulu," harapnya.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG, Waspada Ancaman Rob di 5 Pulau di NTT