Dan dari situ, setelah diizinkan marga Siregar tinggal di sana, Pasaribu bersaudara menamakan empat kampung yang masing-masing mereka tempati dengan sebutan Simaretong.
Artinya, semua urusan antar kampung itu harus melibatkan dan diselesaikan oleh empat kampung, termasuk dalam hal menjaga hutan dan pengelolaan sumber airnya.
"Dan sejak itu pula, masyarakat empat kampung sepakat untuk membuat Mantari Bondar. Orang yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengatur air dan menyelesaikan segala sengketanya," kata Hendra.
Bondar, merupakan bahasa daerah setempat yang artinya parit atau aliran air. Jadi, Mantari Bondar yaitu orang yang dipercaya menjaga saluran atau sumber air dan hutan, sesuai aturan adat yang sudah disepakati secara turun temurun.
Mantari Bondar dijabat oleh satu orang yang membawahi delapan orang Penjaga Bondar (perwakilan dari masing-masing kampung/desa). Semuanya dipilih oleh masyarakat.
Penjaga Bondar tugasnya menjaga hutan dan mengawasi mata air dari kerusakan, serta mengurus aliran air agar lancar mengalir. Sementara Mantari Bondar, lebih banyak mengurusi sengketa air yang timbul dengan mekanisme sanksi adat.
Uniknya, sembilan orang tersebut, mendapat bayaran tidak berupa uang. Masyarakat akan menyisihkan sebagian hasil tani mereka dengan jumlah yang sudah disepakati dan diberikan kepada Mantari Bondar, kemudian dibagikan kepada Penjaga Bondar.
Setiap keluarga yang menggunakan air, diwajibkan membayar dua kaleng padi atau sekitar 24 kilogram setiap tahun. Bagi warga baru (di luar keturunan Hatabosi) diwajibkan membayar 12 kilogram karet dan tiga tabung padi.
Hasil dari penjualan pemberian warga itu, biasanya dibelikan kembali untuk memenuhi peralatan Penjaga Bondar seperti cangkul, parang dan alat-alat lainnya.
Sisanya, disisihkan untuk upah Mantari Bondar. Sementara upah Panjaga Bondar diatur Mantari Bondar berdasarkan hari kerja yang dilakukan Panjaga Bondar dalam setahun.
Baca juga: Sampah Luar Negeri Berserakan di Pantai Paloh Kalbar, Ancam Konservasi Penyu
Kabupaten Tapanuli Selatan, memiliki kawasan hutan Batang Toru seluas 29.507 hektare. Dari jumlah itu, sekitar 3.000 hektare dilestarikan oleh masyarakat dari Komunitas Hatabosi dan sekitarnya.
Dan sedikitnya, seluas 300 hektare lahan pertanian warga, sistem pengairannya diatur oleh Mantari Bondar dan Penjaga Bondar.
Mantari Bondar mengatur sistem pengelolaan dan pembagian saluran air berdasarkan kesepakatan masyarakat empat desa. Syaratnya, memiliki areal persawahan dan telah diadati dalam pernikahan. Jika kemudian hari, ada yang keluar dari kampung, maka haknya dalam penggunaan saluran air akan hilang. Tapi hak tersebut akan didapat lagi, jika datang kembali ke kampung.
Mantari Bondar akan turun langsung dan mengajak warga bergotong royong, jika penyebab kerusakan air berasal dari hulu. Namun jika kerusakan hanya pada saluran irigasi, yang bertanggung jawab memperbaiki adalah Penjaga Bondar. Dan itu sesuai dengan deklarasi yang disepakati bersama sejak 8 April 1994.
Dalam menjaga air, Komunitas Hatabosi memberlakukan hukum yang ketat. Masyarakat setempat dilarang keras merusak hutan. Jika terjadi pelanggaran, masyarakat yang mengadili dan kemudian diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Sekitar tahun 1995, pernah terjadi pencurian kayu yang dilakukan seorang warga desa akibat janji harga tinggi dan bujukan cukong kayu. Masyarakat menangkap dan mengadilinya. Namun pelaku, merasa tidak senang dan melapor ke polisi.
Mantari Bondar, sebagai orang yang bertanggung jawab dipanggil polisi. Dia diancam akan dipenjara jika tidak mengganti dan memberi perobatan kepada warga pelaku pencuri kayu itu.
Dengan bijak, Mantari Bondar menyebut siap mengganti dan membayar semua perobatan pelaku.
Namun dengan syarat, pelaku juga harus menganti pohon yang sudah ditebangnya dan kerugian akibat kerusakan hutan bagi sumber air mereka.
Polisi bingung menetapkan kasus tersebut, dan akhirnya membiarkannya. Perkara selesai.