Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mukhijab
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Memahami Gaya Komunikasi "Parkir Mobil" ala Gibran

Kompas.com - 26/11/2021, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WALI Kota Solo Gibran Rakabuning Raka memarkir mobil dinas AD 1 A di tempat “bermasalah”. Sepintas fenomena parkir mobil Gibran hanya unik karena mobil dinas wali kota dibiarkan nongkrong di lokasi tertentu, misalnya di gerbang masuk kuburan, dalam waktu relatif lama.

Apakah itu candaan atau sebaliknya itu strategi Gibran dalam berkomunikasi dan mengontrol masyarakat, khususnya warga yang bermasalah?

Dalam lintasan sejarah kekuasaan, perilaku pemimpin jarang disebut sebagai candaan. Apapun yang mereka lakukan bermakna simbolik dan memiliki tafsir tertentu.

Meminjam istilah Gun Gun Heryanto, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, setiap pemimpin memiliki gaya mengekspresikan cara berkomunikasi dan menunjukkan kekuasaannya.

Presiden Soeharto menggunakan strategi controlling style communication atau mengendalikan komunikasi dengan memilih diksi khusus untuk persuasi, mengontrol, memaksa atau mengancam seperti diksi “gebuk, awas bahaya laten, mikul duwur mendem jero, dan lain-lain.”

Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerapkan gaya beretorika (structuring style), sementara Presiden Joko Widodo menerapkan gaya sedikit bicara tapi banyak terjun langsung ke masyarakat (equalitarian style).

Sebagai pemimpin muda, lahir 1987, Gibran memilih gaya komunikasi simbolik, menggunakan mobil sebagai simbol representasi kehadirannya di suatu tempat.

Mobil dinas AD 1 A itu dijadikan petunjuk bahwa Gibran sebagi Wali Kota Solo hadir di setiap lokasi yang bermasalah.

Baca juga: Gibran 3 Kali Tinggalkan Mobil Dinas di Suatu Tempat, Kali Ini di SMK Batik 2 Solo

Pilihan simbol representasi kekuasaan tersebut menumbuhkan dua kesan. Di satu sisi, pilihan terhadap simbol kekuasaannya merupakan produk industri modern dan masuk kategori barang mewah, itu sesuai dengan profilnya sebagai generasi milenial.

Di sisi lain, gaya komunikasi simbolik itu mencerminkan Gibran sedang membatasi komunikasi terbuka dengan publik dalam mengatasi masalah.

Terdapat kemiripan dengan gaya ayahnya, Presiden Joko Widodo, dalam hal Gibran ingin menunjukkan banyak kerja, tidak banyak bicara.

Replikasi semacam itu tidak sesuai dikaitkan dengan profilnya sebagai generasi milenial yang biasanya sangat terbuka.

Terdapat karakter konservatif di balik komunikasi simbolik Gibran. Dia seperti ingin menerapkan prinsip komunikasidalam tradisi Jawa.

Dia tidak ingin bicara terbuka terhadap persoalan atau kasus tertentu. Dia ingin mengetuk secara simbolik perasaan warga.

Baca juga: Tinggalkan Mobil Dinas di SDN 113 Solo, Gibran Sindir Guru Tak Tertib Prokes

 

Ia mendorong warga untuk mendengar suara hati nurani agar pandai dalam menangkap maksud yang tersembunyi dalam perbuatan atau perkataan tertentu dan tidak mengumbar nafsu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com