Ia tak ingin masakan itu basi di rumahnya. Akhirnya, masakan tersebut dibungkus dan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Seperti tukang becak yang ada di dekat rumahnya.
“Besoknya kami masak fresh lagi,” ujar dia.
Kendati ada yang belum terjual sama sekali, Exsi tak menyerah. Ia tetap memasak untuk dijual. Saat itu, ia mengajak satu karyawan untuk membantunya.
“Tahun 2017 saya coba masukkan jualan di Go Food,” aku dia.
Saat itu, jualannya semakin dikenal masyarakat. Bahkan, ia memindahkan usaha itu ke sebuah ruko di Jalan Padjajaran. Warung makan itu pun diberi nama Warung Emak.
Penamaan itu memiliki alasan sederhana, banyak yang memanggilnya Emak saat bertransaksi. Ruko kecil itu dibanjiri pembeli.
“Kalau bulan Ramadan sampai antre dan macet yang mau beli,” kata dia.
Baca juga: Gaduh Isu Persaingan Capres PDI-P, DPC Jember: Kami Dilarang Ikut-ikutan
Karena ruko terlalu kecil, akhirnya ia pindah tempat ke pekarangan milik suaminya yang cukup luas.
Pembeli Kangen Masakan Emaknya
Ia mengaku makannya yang dijualnya memiliki keunggulan sambal. Banyak pembeli merasa terkenang dengan masakan ibu masing-masing. Sebab, sambal yang disajikan seperti sambal dibuat di rumah pada umumnya.
“Menunya seperti sambel teri, sambal pete, sambel tempe dan tahu,” ucap dia.
Dalam sehari, Exsi menghabiskan 50 kilogram cabai. Ketika cabe mahal, ia tidak mengurangi porsi sambalnya.
Exsi merasa menu yang disajikan tersebut mewakili rasa kangen pembeli, terutama mahasiswa dari luar kota yang tinggal di Jember. Dari sana, Warung Emak dikenal dengan menu khas sambalnya.
Selain itu, dirinya mengaku selalu terbuka ketika ada masukan dan komplain dari pembeli. Hal itu yang menjadikan warungnya selalu berbenah. Selain itu, ia juga mengatur manajemen warung tersebut secara kekeluargaan dan kerja tim.
“Kita harus tau karakter masing-masing karyawan,” jelas dia.