Karena emosi, tentara Belanda menodongkan senjata otomatis yang dia gunakan untuk merontokkan kelapa.
“Pada waktu itu saya tidak takut dengan tentara Belanda itu,” ucapnya.
Karena emosi, tiba-tiba tentara Belanda tersebut memukul punggung Sri Ngestoe Padinah dengan menggunakan senjata otomatis hinga terjerembab ke tanah.
Beruntung tentara Belanda tersebut akhirnya membiarkan dia pergi sambil menahan sakit
“Punggung saya rasanya sakit sekali karena dipukul,” jelasnya.
Baca juga: Sejarah Perang Bayu di Banyuwangi, Perang Paling Kejam yang Dialami Belanda
Serangan yang meleset
Menurutnya, banyak warga Magetan yang memilih mengungsi ke Desa Ngariboyo mencari tempat aman ketika Belanda mulai menduduki Magetan.
Di sebelah barat jembatan Carat yang terputus, pasukan Belanda memasang alat untuk meluncurkan peluru jenis canon yang diarahkan ke Desa Ngariboyo.
Pada saat itu, Desa Ngariboyo yang jauhnya sekitar lima kilometer dari Kabupaten Magetan memang dijadikan markas oleh pasukan gerilyawan Indonesia.
Suatu waktu Belanda meluncurkan peluru canonnya dengan sasaran lokasi markas pejuang dan pengungsian.
Meski sempat meledak, peluru tersebut menyasar ke bangunan masjid yang berada di sebelah barat pengungsian.
“Pelurunya meledak, tapi meleset ke sebelah barat sehingga pengungsi selamat,” kata Sri Ngestoe.
Baca juga: Zainal Mustafa: Latar Belakang dan Perlawanan terhadap Penjajah
Markas yang selalu berpindah setiap hari
Untuk menghindari serangan canon berikutnya, warga kemudian menyelamatkan diri ke arah barat desa.
Gerilyawan Detachement KDM kemudian menyusun strategi dengan cara mengalihkan posisi markas ke Desa Pendem.
Markas setiap hari memang terus berpindah tempat untuk menghindari serangan Belanda.
“Setiap hari jalan, bahkan kita sampai di perbatasan Wonogiri Jawa Tengah,” katanya.
Secara militer, senjata yang dimiliki pasukan tentara Indonesia dan gerilyawan di Magetan tidak lebih dari satu pucuk pistol untuk komandan, satu sten gun dengan peluru yang terbatas.
Sementara para gerilyawan hanya mempersenjatai diri dengan senjata tradisional seperti bambu runcing, golok, parang dan senjata tajam lainnya.
“Pokoknya apa saja dijadikan senjata,” ujarnya.
KDM bersama gerilyawan terus bergerak dari perbatasan Kabupaten Wonogiri menuju ke Nitikan, Kecamatan Plaosan dan kembali ke Ngariboyo.
Kemudian bergerak lagi ke Desa Kumpulan dan menuju Desa Tamanan.
Dari desa Tamanan, kelompok pejuang bergerak terus ke desa Guyung Kecatan Geneng Kabupaten Ngawi.
“Setiap hari berjalan. Kadang tidak makan seharian tapi tidak ada yang mengeluh lapar. Mikirnya kita bagaimana mengusir Belanda,” ucapnya.
Baca juga: Keluarga Pejuang Huni Bunker Tua Peninggalan Belanda di Surabaya