Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Gerilyawan Wanita, Sri Ngestoe Padinah, Dipukul Tentara Belanda gara-gara Kelapa

Kompas.com - 17/08/2021, 06:00 WIB
Sukoco,
Pythag Kurniati

Tim Redaksi

MAGETAN, KOMPAS.com –  "Ketika itu tahun 1948, saya adalah seorang gadis berusia 18 tahun yang lahir dan tinggal di Kabupaten Magetan.

Sebagai remaja perempuan, secara spontan saya telah melibatkan diri dalam pergerakan perang gerilya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari upaya pendudukan melalui Agresi  Militer Belanda"

Tulisan tangan Sri Ngestoe Padinah, warga Jalan Kelud Kabupaten Magetan yang lahir pada 4 November 1933 tertata rapi pada sebuah buku catatan yang diserahkan kepada Kompas.com saat mengunjungi kediamannya, Minggu (15/8/2021) siang.

Baca juga: Monumen Bajra Sandhi: Merawat Ingatan Perjuangan Kemerdekaan RI di Bali

Sri Ngestoe Padinah mengaku tak ingat pasti tanggal berapa bala tentara Belanda masuk ke wilayah Kabupaten Magetan.

Yang jelas di ingatannya saat itu, seluruh warga yang tinggal di dalam kawasan kota berbondong-bondong memilih mengungsi keluar kota.

“Saya bersama seluruh keluarga mengungsi ke desa Ngariboyo yang berada di sebelah Selatan kota Magetan,” ujarnya.

Bergabung dengan kesatuan

Dalam pengungsian itu, Sri Ngestoe Padinah memilih bergabung dengan Kesatuan Detaschement KDM di Desa Pendem Kecamatan Poncol yang berada bawah komando Komandan Dertachemen Lettu Abdul Karim Soesanto.

Abdul Karim adalah anggota pasukan Siliwangi yang tujuan awalnya ke Magetan untuk tugas khusus penumpasan pemberontakan PKI 1948 di Madiun.

Belum selesai melaksanakan tugas menumpas anggota pemberontakan PKI di Madiun, Abdul Karim  harus berjuang melawan Belanda di Magetan dengan mengajak sejumlah relawan seperti dirinya.

Baca juga: Mengenal dr Soetomo, Pahlawan Kemerdekaan Kelahiran Nganjuk

Sebagai relawan, Sri Ngestoe terjun untuk membantu Lettu Abdul Karim Susanto menghancurkan bangunan gedung yang ada di Magetan.

Tujuannya agar tidak bisa digunakan oleh pasukan Belanda sebagai markas.

Gedung gedung tersebut dihancurkan dengan menggunakan bahan peledak berupa men (Bom yang berukuran kecil).

Gedung penting  yang dihancurkan pada saat itu adalah gedung pemerintahan, gedung kepatihan yang berada di timur Alun-alun Magetan, kantor bank di utara Alun-alun, serta rumah pegadaian.

Baca juga: Nama Agus Gratis Servis Motor hingga Dapat Diskon Bikin Website

 

Ilustrasi menulis.SHUTTERSTOCK Ilustrasi menulis.
Bertugas lakukan pencatatan

Selama bergabung dengan KDM, tugas Sri Ngestoe Padinah adalah mencatat perintah komandan terkait strategi perang yang akan diterapkan.

Dia harus mencatat jumlah granat yang rencananya akan diledakkan serta mencatat lokasi rencana penyerangan

Pada waktu itu tidak banyak orang yang bisa membaca dan menulis. Namun, Sri Ngestoe bisa melakukannya.

“Semua dicatat termasuk di mana granat akan diledakkan karena jumlahnya sedikit jadi harus matang strateginya,” imbuhnya.

Baca juga: Peringati HUT ke-71 Jateng, Kiai dan Santri Gelar Doa Tolak Bala

Para gerilyawan, kata Sri Ngestoe, terus berusaha menghalangi upaya pasukan Belanda memasuki wilayah Kabupaten Magetan.

Mereka memasangi penghalang baik kayu maupun batang pisang di tengah jembatan Gandong yang langsung menuju Kantor Bupati Magetan saat itu.

Mengetahui strategi yang diterapkan oleh gerilyawan, pasukan Belanda sempat memilih memutardengan melewati jembatan yang tidak dipasangi bom.

“Pada waktu itu jembatan yang dari timur di Carat itu sudah dihancurkan, ternyata mereka tahu dan melambung lewat jembatan di Njawar,” imbuhnya.

Baca juga: Kisah Kapten Masrin di Balik Peristiwa Diboyongnya Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok

Dipukul tentara Belanda gara-gara kelapa

ilustrasi buah kelapaPIXABAY/ASTAMA81 ilustrasi buah kelapa

Setelah berhasi memasuki Kabupaten Magetan, beberapa tentara Belanda memilih sebuah rumah penduduk di Desa Bulukerto, tepatnya sebuah rumah di Jalan Samodra Nomor 9 untuk disinggahi.

Rumah tersebut persis berada di depan rumah Sri Ngestoe Padinah.

Sri Ngestoe mengenang, dirinya sering pulang pergi antara rumah dengan tempat pengungsian ketika itu.

“Dulu umur segitu masih dianggap anak-anak, jadi Belanda tidak curiga,” katanya.

Pada suatu hari, pasukan Belanda menembaki pohon kelapa milik orangtuanya dengan senjata otomatis milik mereka.

Rentetan tembakan tersebut membuat seluruh buah kelapa berjatuhan tanpa tersisa.

Sri Ngestoe yang masih muda, tanpa takut memarahi pasukan Belanda. Dia marah karena menyayangkan buah kelapa keluarganya terbuang sia-sia.

Baca juga: Pemkot Makassar Gelar Perayaan HUT RI di Pantai Losari, Tempat Lain Dilarang

 

Sri Ngestoe Padinah, seorang gerilyawan wanita dari Magetan yang ikut melakukan perang melawan upaya agresi militer Belanda di Magetan pad tahun 1948.KOMPAS.COM/SUKOCO Sri Ngestoe Padinah, seorang gerilyawan wanita dari Magetan yang ikut melakukan perang melawan upaya agresi militer Belanda di Magetan pad tahun 1948.
Karena emosi, tentara Belanda menodongkan  senjata otomatis yang dia gunakan untuk merontokkan kelapa.

“Pada waktu itu saya tidak takut dengan tentara Belanda itu,” ucapnya.

Karena emosi, tiba-tiba tentara Belanda tersebut memukul punggung Sri Ngestoe Padinah  dengan menggunakan senjata otomatis hinga terjerembab ke tanah.

Beruntung tentara Belanda tersebut akhirnya membiarkan dia pergi sambil menahan sakit

“Punggung saya rasanya sakit sekali karena dipukul,” jelasnya.

Baca juga: Sejarah Perang Bayu di Banyuwangi, Perang Paling Kejam yang Dialami Belanda

Serangan yang meleset

Ilustrasi senjata api.
Shutterstock Ilustrasi senjata api.

Menurutnya, banyak warga Magetan yang memilih mengungsi ke Desa Ngariboyo mencari tempat aman ketika Belanda mulai menduduki Magetan.

Di sebelah barat jembatan Carat yang terputus, pasukan Belanda memasang alat untuk meluncurkan peluru jenis canon yang diarahkan ke Desa Ngariboyo.

Pada saat itu, Desa Ngariboyo yang jauhnya sekitar lima kilometer dari Kabupaten Magetan memang dijadikan markas oleh pasukan gerilyawan Indonesia.

Suatu waktu Belanda meluncurkan peluru canonnya dengan sasaran lokasi markas pejuang dan pengungsian.

Meski sempat meledak, peluru tersebut menyasar ke bangunan masjid yang berada di sebelah barat pengungsian.

“Pelurunya meledak, tapi meleset ke sebelah barat sehingga pengungsi selamat,” kata Sri Ngestoe.

Baca juga: Zainal Mustafa: Latar Belakang dan Perlawanan terhadap Penjajah

Markas yang selalu berpindah setiap hari

Untuk menghindari serangan canon berikutnya, warga kemudian menyelamatkan diri ke arah barat desa.

Gerilyawan Detachement KDM kemudian menyusun strategi dengan cara mengalihkan posisi markas ke Desa Pendem.

Markas setiap hari memang terus berpindah tempat untuk menghindari serangan Belanda.

“Setiap hari jalan, bahkan kita sampai di perbatasan Wonogiri Jawa Tengah,” katanya.

Secara militer, senjata yang dimiliki pasukan tentara Indonesia dan gerilyawan di Magetan tidak lebih dari satu pucuk pistol untuk komandan, satu sten gun dengan peluru yang terbatas.

Sementara para gerilyawan hanya mempersenjatai diri dengan senjata tradisional seperti bambu runcing, golok, parang dan senjata tajam lainnya.

“Pokoknya apa saja dijadikan senjata,” ujarnya.

KDM bersama gerilyawan terus bergerak dari perbatasan Kabupaten Wonogiri menuju ke Nitikan, Kecamatan Plaosan dan kembali ke Ngariboyo.

Kemudian bergerak lagi ke Desa Kumpulan dan menuju Desa Tamanan.

Dari desa Tamanan, kelompok pejuang bergerak terus ke desa Guyung Kecatan Geneng Kabupaten Ngawi.

“Setiap hari berjalan. Kadang tidak makan seharian tapi tidak ada yang mengeluh lapar. Mikirnya kita bagaimana mengusir Belanda,” ucapnya.

Baca juga: Keluarga Pejuang Huni Bunker Tua Peninggalan Belanda di Surabaya

 

Menuju ke Solo, bergabung dengan pasukan TRIP

Dari Guyung kelompok pejuang  bergeser pindah ke Desa Gentong kemudian bergerak terus ke wilayah Sine.

Dari Sine atau Ngrambe, pasukan bergeser ke arah barat melewati Kecamatan Balong yang berada di lereng sebelah utara Gunung Lawu.

Pasukan terus bergerak ke daerah Batu Jamus dan menuju ke arah utara, mencari tempat penyeberangan agar bisa melintasi Bengawan Solo hingga sampai di daerah Nusukan utara pasar Legi Solo.

“Kita diperintahkan untuk bergabung dengan tentara pelajar di Solo,” kenangnya.

Para gerilyawan yang berjumlah belasan kemudian bermalam di rumah keluarga Bapak Abdul Karim S di Dukuh Gremet, Nusukan, yang berada di belakang stasiun kereta api Purwosari.

Lokasi tersebut kemudian dijadikan markas perjuangan sementara.

Baca juga: Monumen Perjuangan Jatinegara, Simbol Perjuangan 16 Daerah di Jakarta Timur

Di Solo, gerilyawan dari Magetan bergabung dengan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) Solo.

“Setelah bergabung dengan TRIP, pengetahuan kami  bertambah maju dan paham bagaimana melakukan pertempuran secara gerilya,” ujar Sri Ngestoe.

Selama menjadi anggota KDM dan mengikuti perang gerilya, Sri Ngestoe Padinah mengaku tidak pernah meminta izin kepada orangtuanya.

Dia mengaku berpisah sejauh 6 kilometer dari lokasi pengungsian orangtuanya sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan komunikasi.

Sri Ngestoe Padinah saat ini merupakan anggota Legiun Veteran Kabupaten Magetan yang masih aktif mengikuti sejumlah kegiatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Diduga Lecehkan Santri, Ponpes di Sekotong Lombok Dirusak Warga

Diduga Lecehkan Santri, Ponpes di Sekotong Lombok Dirusak Warga

Regional
Didorong Maju Pilkada, Rumah Petani di Brebes Digeruduk Ribuan Warga

Didorong Maju Pilkada, Rumah Petani di Brebes Digeruduk Ribuan Warga

Regional
Kaget Ada Motor yang Melintas, Truk di Semarang Tabrak Jembatan Penyeberangan Orang

Kaget Ada Motor yang Melintas, Truk di Semarang Tabrak Jembatan Penyeberangan Orang

Regional
Tawuran Pelajar SMK di Jalan Raya Bogor, Satu Tewas akibat Luka Tusukan

Tawuran Pelajar SMK di Jalan Raya Bogor, Satu Tewas akibat Luka Tusukan

Regional
Kunjungi Banyuwangi, Menhub Siap Dukung Pembangunan Sky Bridge

Kunjungi Banyuwangi, Menhub Siap Dukung Pembangunan Sky Bridge

Regional
Berlayar Ilegal ke Australia, 6 Warga China Ditangkap di NTT

Berlayar Ilegal ke Australia, 6 Warga China Ditangkap di NTT

Regional
Video Viral Diduga Preman Acak-acak Salon di Serang Banten, Pelaku Marah Tak Diberi Uang

Video Viral Diduga Preman Acak-acak Salon di Serang Banten, Pelaku Marah Tak Diberi Uang

Regional
Tawuran 2 Kampung di Magelang, Pelaku Kabur, Polisi Amankan 5 Motor

Tawuran 2 Kampung di Magelang, Pelaku Kabur, Polisi Amankan 5 Motor

Regional
Dua Dekade Diterjang Banjir Rob, Demak Rugi Rp 30 Triliun

Dua Dekade Diterjang Banjir Rob, Demak Rugi Rp 30 Triliun

Regional
Rektor Universitas Riau Cabut Laporan Polisi Mahasiwa yang Kritik UKT

Rektor Universitas Riau Cabut Laporan Polisi Mahasiwa yang Kritik UKT

Regional
Pembuang Bayi di Semarang Tinggalkan Surat di Ember Laundry, Diduga Kenali Saksi

Pembuang Bayi di Semarang Tinggalkan Surat di Ember Laundry, Diduga Kenali Saksi

Regional
Pencuri Kain Tenun Adat di NTT Ditembak Polisi Usai 3 Bulan Buron

Pencuri Kain Tenun Adat di NTT Ditembak Polisi Usai 3 Bulan Buron

Regional
Duel Maut 2 Residivis di Temanggung, Korban Tewas Kena Tusuk

Duel Maut 2 Residivis di Temanggung, Korban Tewas Kena Tusuk

Regional
Tungku Peleburan di Pabrik Logam Lampung Meledak, 3 Pekerja Alami Luka Bakar Serius

Tungku Peleburan di Pabrik Logam Lampung Meledak, 3 Pekerja Alami Luka Bakar Serius

Regional
Pria Misterius Ditemukan Penuh Lumpur dan Tangan Terikat di Sungai Babon Semarang

Pria Misterius Ditemukan Penuh Lumpur dan Tangan Terikat di Sungai Babon Semarang

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com