Lelaki 64 tahun itu berujar, sejak 1960 ayahnya menarik diri dari perpolitikan. Ia mengabdi sebagai lurah Bojong Rengasdengklok dan guru ngaji. Dalam kenangannya, Kapten Masrin tak lepas dari tasbih saat di rumah.
"Jadi lurah pun tidak ada honor. Pun selepas jadi veteran, dia tidak menerima honor. Orangnya memang berjuang tanpa pamrih," ungkap Wiwin sambil terkenang.
Ia mengaku tak banyak yang ia ingat tentang ayahnya. Sebab, di depan keluarganya, Kapten Masrin berperangai sederhana.
Perawakannya kecil namun gagah berani, dan berwibawa. Petuahnya adalah "harus berpendidikan". Meskipun ia akui, karena keterbatasan ekonomi selepas Kapten Masrin tiada, pendidikannya usai di bangku kelas 2 SMA.
"Sahabat bapak dari Belanda bahkan meminta anaknya untuk mencari keluarganya. Bapak disebutnya lurah paling berwibawa," ujar dia.
Guntur hingga Sukmawati, putra-putri Soekarno, pun pernah mengunjungi makam Kapten Masrin. Pun para veteran dan komunitas.
Wiwin mengungkapkan, keluarga tak ada keinginan Kapten Masrin dijadikan Pahlawan Nasional.
Ia hanya ingin masyarakat mengenal dan tak melupakan sejarah. Ia berharap istilah jas merah tak hanya muncul saat 17 Agustus saja.
Pengrajin mebel dan lemari itu juga berharap, pemerintah bisa memperhatikan kondisi jejak peristiwa jelang kemerdekaan di Rengasdengklok.
Baca juga: Geliat Kampung Bendera di Tengah Pandemi yang Berkepanjangan
Misalnya Eks Kantor Kawedanaan Rengasdengklok yang pada 16 Agustus 1945 digelar upacara. Bendera Jepang diturunkan kemudian dikibarkanlah bendera merah putih.
"Miris, kalau melihat kondisi jejak sejarah yang begitu bernilai di Rengasdengklok ini, seakan diabaikan begitu saja, dari para pejuangnya, hingga keberadaan tempat yang menjadi saksi bisu jelang kemerdekaan," ujar Wiwin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.