“Nanti lain rasanya kalau menggunakan santan instan atau sudah diparut,” jelas Mbah Warsi.
Dirinya sudah berjualan bubur sumsum di pasar tiban sejak puluhan tahun lalu.
Mbah Warsi enggan berhenti berjualan bubur kendati anak dan cucunya banyak yang melarangnya.
Jualan bubur Mbah Warsi pun tak pernah lebih. Satu panci sedang menjadi sajian jualan buburnya.
Bila dagangannya habis, Mbah Warsi pulang dijemput salah satu anaknya menumpang sepeda motor.
Satu porsi bubur sumsum Mbah Warsi sangat murah, seporsi hanya Rp 2.000.
Mbah Warsi enggan menambah porsi bubur meski banyak orang yang menyarankannya.
Bahkan, ia menolak tawaran pesanan dari beberapa pelangganya untuk keperluan acara.
Pagi itu banyak pembeli yang datang sudah kehabisan jenang Mbah Warsi.
“Mpun telas (sudah habis) ibu,” ujar Mbah Warsi.
Bagi Mbah Warsi, berjualan bubur sumsum adalah jalan hidupnya yang akan dia nikmati sampai akhir hayat.
Ia pun tak mau menambah porsi jualan hanya lantaran ingin mendapatkan untung yang banyak.
“Saya pernah dipesani pak polisi tapi saya tidak mau. Tenaga saya tidak mampu kalau harus menerima pesanan,” kata Mbah Warsi.
Mbah Warsi merasa hidupnya sudah berkecukupan dengan berjualan satu panci sedang bubur sumsum setiap harinya.
Bahkan selama pandemi hingga PPKM darurat, jualan bubur mbah Warsi tak pernah sepi pembeli.
Dalam waktu satu hingga dua jam bubur sumsum Mbah Warsi ludes diserbu pembeli.
Ia pun merasa bersyukur dengan berjualan bubur sumsum sudah bisa membesarkan tiga anaknya hingga mereka berkeluarga sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.