Rumah sejatinya tempat bernaung. Di pekuburan, bangunan serupa untuk menaungi kijing atau nisan di bawahnya.
Karena fungsinya menaungi mereka yang sudah dikubur, cukup aneh bila ada orang yang sedia tinggal di sana, seperti halnya Waluyo.
“Tinggal di sini sejak 2010. Di (cungkup) tempat ini. Semua yang saya lakukan ya di sini,” kata Waluyo.
Cungkup di mana Waluyo tinggal ini bangunan besar dengan dinding kokoh.
Ukurannya yang besar cukup menaungi enam kijing ukuran besar di dalam dan empat kijing ukuran sedang di terasnya. Lantai keramik putih.
Waluyo menjalani kehidupan sehari-hari di situ, baik tidur, memasak, menyimpan pakaian, mencuci, makan bahkan menerima tamu yang ingin menemuinya.
Baca juga: Tragedi Kerusuhan Mei 1998, Kisah Pilu Maria Sanu...
Di antara nisan di teras cungkup, Waluyo tidur beralaskan karpet lusuh. Ada obat nyamuk oles di sudut ruang teras itu.
“Tidur ya di sini,” katanya sambil menunjuk sela antar cungkup.
Ia menyebut cungkup itu sebagai kubur para leluhur. Ayahnya, Sastro Sutarjo, keturunan ke sekian dalam ‘trah’ leluhur itu.
Waluyo menunjuk sebuah nisan kecil persis depan cungkup, yang menurut dia disitu berbaring Sastro, ayahnya.
“Ini keluarga saya. Itu kubur bapak saya,” kata Waluyo.
Duka Masa Lalu
Sebuah janji di masa lalu membuat Waluyo memutuskan tinggal di sana sampai batas yang belum bisa ia tentukan.
Pikirannya mundur ke masa silam ketika Sastro meninggal dunia pada 1974, setelah Waluyo lulus SMP.
Waluyo lantas merantau ke Lampung atas ajakan seorang kenalan di 1976.
Tiga tahun kemudian, ia pulang ke rumah Ngadirah, ibunya yang ada di Margosari.
Baca juga: Kisah 2 Nelayan Selamat Berkat Rompi Pelampung Usai Perahunya Dihantam Ombak Pantai Selatan
Ia memboyong ibu dan bapak tirinya ke Lampung, menjual semua harta peninggalan orangtua sebagai modal penghidupan.
Di sana, Waluyo menjalani naik turun perjalanan hidup. Pernah menjadi supir metro, bekerja di pabrik gula hingga kini petani dengan penghasilan lumayan dari kebun singkong.
Di sana, ia memiliki istri, enam anak. Kini, kata Waluyo, anaknya tersisa tiga orang.
Lama merantau, Waluyo pulang ke kampung halaman.