Salin Artikel

Kisah Waluyo, Belasan Tahun Tinggal di Kompleks Pemakaman

Berisik pohon bambu rimbun tertiup angin terdengar dominan.

Luas komplek makam ini hampir satu hektar. Warga menamainya sebagai Makam Karang Tengah. Ribuan nisan ada di sana, berimpitan. Ada nisan yang bertuliskan tahun 1881.

Hamparan makam terbuka tanpa rumput sehingga barisan nisan tampak jelas sejauh mata memandang.

Namun demikian, kompleks makam tidak gersang karena masih ada beragam tumbuhan lain, utamanya pohon hias beragam jenis.

Ada pohon jenis andong merah atau hanjuang yang daunnya panjang dan berwarna merah. Ada pula barisan pohon daun puring hijau kuning dan kuning merah yang biasanya sebagai pelengkap hiasan rumah.

Pohon kamboja tentu tidak ketinggalan. Semenisasi baru tampak di sisi dalam pagar.

Dengan tanpa rumput dan penataan tanaman, kompleks kubur itu jadi terasa bersih dan tidak gelap.

Suatu siang yang terik, kompleks kubur terasa terang. Tidak ada kesan kubur yang suram dan muram ketika siang maupun malam.

Di antara sejumlah makam itu tampak Waluyo (64) yang bertubuh tambun besar.

Ia sering kali mengenakan kaos tanpa lengan sehingga memperlihatkan tangannya yang kekar.

Siang itu, ia duduk bernaung di bawah atap rumah kuburan di tengah komplek pekuburan Karang Tengah.

Duduk sambil merokok. Waluyo memandang puas sekeliling komplek kubur karena bersih.

“Kalau kelihatan rumput saya semprot pakai pembunuh rumput yang botolnya kecil. Satu bulan ya bisa habis Rp 50.000. Penyemprotan di musim hujan bisa tiap 20 hari, kalau musim panas seperti ini bisa tiap satu setengah bulan,” kata Waluyo.

Waluyo asal Lampung. Ia datang tanpa identitas, tanpa rumah tinggal dan hidup sementara ini tanpa ditemani istri dan anak-anaknya.

Waluyo memilih tinggal di sebuah cungkup, istilah dari rumah kubur di pemakaman.

Konstruksi cungkup beragam, tapi memiliki bentuk bangunan serupa rumah dengan tiang, dinding dan atap. Tidak sedikit yang berdinding atau pagar.

Karena fungsinya menaungi mereka yang sudah dikubur, cukup aneh bila ada orang yang sedia tinggal di sana, seperti halnya Waluyo.

“Tinggal di sini sejak 2010. Di (cungkup) tempat ini. Semua yang saya lakukan ya di sini,” kata Waluyo.

Cungkup di mana Waluyo tinggal ini bangunan besar dengan dinding kokoh.

Ukurannya yang besar cukup menaungi enam kijing ukuran besar di dalam dan empat kijing ukuran sedang di terasnya. Lantai keramik putih.

Waluyo menjalani kehidupan sehari-hari di situ, baik tidur, memasak, menyimpan pakaian, mencuci, makan bahkan menerima tamu yang ingin menemuinya.

Di antara nisan di teras cungkup, Waluyo tidur beralaskan karpet lusuh. Ada obat nyamuk oles di sudut ruang teras itu.

“Tidur ya di sini,” katanya sambil menunjuk sela antar cungkup.

Ia menyebut cungkup itu sebagai kubur para leluhur. Ayahnya, Sastro Sutarjo, keturunan ke sekian dalam ‘trah’ leluhur itu.

Waluyo menunjuk sebuah nisan kecil persis depan cungkup, yang menurut dia disitu berbaring Sastro, ayahnya.

“Ini keluarga saya. Itu kubur bapak saya,” kata Waluyo.

Duka Masa Lalu

Sebuah janji di masa lalu membuat Waluyo memutuskan tinggal di sana sampai batas yang belum bisa ia tentukan.

Pikirannya mundur ke masa silam ketika Sastro meninggal dunia pada 1974, setelah Waluyo lulus SMP.

Waluyo lantas merantau ke Lampung atas ajakan seorang kenalan di 1976.

Tiga tahun kemudian, ia pulang ke rumah Ngadirah, ibunya yang ada di Margosari.

Ia memboyong ibu dan bapak tirinya ke Lampung, menjual semua harta peninggalan orangtua sebagai modal penghidupan.

Di sana, Waluyo menjalani naik turun perjalanan hidup. Pernah menjadi supir metro, bekerja di pabrik gula hingga kini petani dengan penghasilan lumayan dari kebun singkong.

Di sana, ia memiliki istri, enam anak. Kini, kata Waluyo, anaknya tersisa tiga orang.

Lama merantau, Waluyo pulang ke kampung halaman.

Waluyo mengaku merasa bersalah tidak merawat baik ayahnya. Ia terpanggil untuk menyumbangkan bakti pada kedua orangtuanya.

Tak lagi memiliki tempat tinggal di tanah kelahirannya itu. Ia lantas bertekad untuk tinggal dekat kubur Sastro, merawat kuburnya, hingga batas di mana nanti ia memutuskan membali pulang ke Lampung.

“Saya ingin membalas budi bapak saya yang memberi sesuatu (dari warisan terdahulu jadi modal merantau) pada saya,” katanya.

Tiap kali bercerita, ia mengakhiri dengan senyum lebar yang menonjolkan giginya yang rapi.

Sembari bercerita, ia juga tak lepas dari sebatang rokok. Jari jempol tangan kiri selalu bergetar.

Sejak itu, ia membersihkan makam Sastro dan para leluhurnya, juga kawasan kompleks pada umumnya.

Ia mengecat cungkup besar di mana ia bernaung, mengecat gerbang masuk komplek kubur, memperbaiki beberapa dinding pagar komplek yang rusak ringan atau keropos, membuat jalan corblok, menanami dengan pohon hias, hingga membantu memperbaiki beberapa kubur baru yang ambles karena hujan.

Waluyo bisa membuatnya jadi bagus, bersih, dan terang.

Terbersit kesan mendalam bagaimana pemakaman tidak ada suasana angker dan seram.

Awalnya, Waluyo membiayai usaha ini pakai uang pribadi yang diperoleh dari menjual ikan yang ditangkap dari sungai pinggir makam. Ia mengaku pantang meminta-minta.

Seiring waktu, warga mulai menerima dirinya. Ada saja warga yang meminta dirinya membantu mengerjakan banyak hal.

Peluang mendapatkan uang terbuka, mulai dari bekerja serabutan, menggali makam, merawat kebun warga, hingga sumbangan dan bantuan warga turut mengalir.

Bahkan, kata dia, kerap menerima tali asih dari peziarah yang senang makam keluarganya bersih. Tali asih itu kerap banyak jumlahnya pada hari raya keagamaan.

“Rata-rata sekarang bisa mendapat uang tapi tidak tentu sehari,” kata Waluyo.

Ia menggunakan uang yang diperoleh untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian disisihkan untuk memperindah kawasan pekuburan.

Belum ada niat untuk berhenti dari kegiatan ini. Menurutnya, ia akan terus seperti ini sampai batas rasa puasnya terwujud.

Lantas, ia bisa meninggalkan pemakaman itu dengan suka cita dan kembali ke Lampung. Namun dengan syarat.

“Ada orang yang menggantikan saya untuk merawat kubur ini. Karena kalau tidak ada yang merawat maka akan kembali banyak yang rusak. Baru kemudian saya kembali ke Lampung,” katanya.

“Saya sudah ada pandangan warga yang sedia merawat. Orangnya rajin, tapi masih saya jajaki. Hasilnya sebenarnya lumayan,” katanya.


Masyarakat Terbantu

Konon, ia berasal dari keluarga terpandang di masa lalu. Keluarganya di anggap tokoh masyarakat.

Di masa lalu, Dukuh (kepala dusun) Karang Tengah Kidul, Puryono, kubur para tokoh terlihat lebih megah dibanding yang lain.

“Tokoh di sini dulu. Mungkin bagian Kesra,” kata Puryono.

Dukuh Karang Tengah Kidul ini menceritakan, Waluyo membawa aura positif.

Bukan hanya membuat makam umum jadi bersih, kompleks makam juga terhindar dari kegiatan terlarang dan hal negatif, hingga beberapa ahli waris atau keluarga merasa terbantu karena bersih.

Puryono mengingat Waluyo di awal kemunculannya. Ia datang dengan penampilan kurus, gondrong dan matanya cekung. Terkesan memprihatinkan.

Ia masuk komplek kuburan dan menjalani hidup secara mandiri tanpa meminta-minta. Ia hidup dengan keterampilan menangkap ikan di sungai sebelah makam di awal tinggal di sana.

Ia memakai bubu atau perangkap bambu bikinan sendiri. Kalau hasil tangkapan banyak, ia menjual hasil tangkapannya itu di pasar.

Perjalanan waktu menjadikan warga menerima Waluyo dengan baik sampai sekarang. Terlebih, ia dinilai tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Ia sudah menyatu dengan warga saat ini.

Penerimaan warga semakin membuka pintu rezeki Waluyo. Ia memiliki uang sendiri dari kerja serabutan, terutama membantu warga sekitar.

Misalnya saja memotong pohon dan bambu, menggali, memacul, bahkan jadi tukang batu. Ada saja permintaan warga saban hari.

Hasilnya, ia bisa beli makan di warung.

"Kesehariannya sekarang mengurus dua kebun di kawasan sini," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2021/05/28/073400178/kisah-waluyo-belasan-tahun-tinggal-di-kompleks-pemakaman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke