Namun demikian, banyak kasus yang terjadi justru anak kerap mendapatkan kekerasan dari orangtuanya sendiri dan orang-orang terdekatnya.
Kanthi menilai dua faktor yang menjadi pemicunya, yakni faktor kultural dan struktural.
"Faktor kultural, misalnya kebiasaan adanya sikap-sikap yang mengabaikan masalah hak anak dianggap biasa atau boleh dalam masyarakat," jelasnya.
"Kedua adalah faktor struktural, misalnya kemiskinan, keterbelakangan dan sebagainya," imbuh Kanthi.
Baca juga: Bocah 7 Tahun Tewas Ditenggelamkan karena Nakal, Orangtua dan Dukun Terancam 15 Tahun Penjara
Menurut Kanthi, cara-cara kekerasan apapun dengan dalih menghilangkan sifat "nakal" pada anak sama sekali tidak dibenarkan.
Setiap orangtua harus mengerti pola asuh yang tepat bagi anak mereka sendiri, sesuai dengan fase perkembangan dan kondisi anak tersebut.
"Tidak ada api kalau tidak ada asap. Anak dilahirkan dalam keadaan suci, seperti kertas putih. Jadi kalau ada anak yang dianggap 'nakal' kemungkinan besar itu disebabkan karena adanya pola asuh orangtua pada anak yang kurang tepat," ungkapnya.
Kathi menyebutkan, hasil penelitian tahun 2019, kurang dari 30 persen orangtua yang mau belajar tentang pola asuh untuk anak dari berbagai forum atau media.
Ini berarti masih banyak orangtua yang perlu dimotivasi untuk belajar tentang bagaimana mengimplementasikan pola asuh yang tepat.
Baca juga: Buntut Kasus Bocah Ditenggelamkan hingga Tewas karena Nakal, 4 Orang Jadi Tersangka
Dikatakan, masih ada anggapan bahwa peran orangtua adalah peran alamiah, sehingga begitu menjadi orangtua maka otomatis bisa menjalankan perannya dengan baik.
Selain itu keterbatasan-keterbatasan yang ada, seperti Sumber Daya Manusia (SDM), kesadaran, manajemen waktu, tenaga dan sebagainya.