Otomatis, status Ngasirah turun menjadi selir walaupun sudah melahirkan delapan anak.
Ngasirah pun berstatus selir dan harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan sebutan "ndoro" atau majikan.
Baca juga: Ngasirah, Sosok di Balik Perlawanan Kartini terhadap Ketidakadilan
Adapun putra-putri Ngasirah diharuskan memanggil Ngasirah dengan sebutan "Yu" atau panggilan untuk perempuan abdi dalem.
Sebagai selir, Ngasirah pun tidak berhak tinggal di rumah utama kabupaten, tetapi tinggal di bagian belakang pendapa.
Namun, Kartini lebih sering memilih tinggal dengan Ngasirah dan menolak memanggilnya "Yu".
Kartini juga memberikan syarat mau menikah jika ibu kandungnya itu dibebaskan masuk pendopo.
Baca juga: Asal-usul Jepara, dari Ratu Kalinyamat hingga Tempat Lahirnya Kartini
"Memori-memori kelam itulah yang mendorong Kartini menolak segala ketidakadilan saat itu, terutama yang bersinggungan dengan perempuan Jawa. Bahkan, berbagai literatur menyebut Kartini tidak malu mengakui jika ibunya itu adalah keturunan rakyat biasa," kata Tegoeh saat dihubungi Kompas.com melalui ponsel, Selasa (28/4/2020).
Dalam tulisannya, Kartini menentang praktik poligami.
"Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah dan kemudian, bila bosan pada anak-anaknya, ia dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam?" tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar.
"Dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah?" sambung Kartini.
Baca juga: Sambut Hari Kartini, Anak-anak Ngabuburit Berkebaya Sambil Main Sepatu Roda
Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada November 1903 di usia 24 tahun.
Suaminya itu sudah memiliki tujuh anak dan dua selir. Bahkan, putri tertua suaminya itu hanya berselisih delapan tahun dengan Kartini.
Joyodiningrat menduda sejak garwo padmi atau istri utama meninggal
Selain permintaan agar sang ibu bisa masuk ke pendopo, Kartini juga mengajukan syarat lain untuk menerima pinangan sang Bupati Rembang.
Baca juga: Hari Kartini, Mengenal Lebih Dekat Kebaya dan Sejarahnya
Dalam buku Kartini Guru Emansipai Perempuan Nusantara yang ditulis Ready Susanto, Kartini meminta dibolehkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri pejabat Rembang seperti yang ia lakukan di Jepara.