Tak hanya Damar, satu per satu warga Dusun Ebunut angkat kaki dari tanah mereka. Ada warga yang tanahnya masih bersengketa, ada juga yang mendapatkan ganti rugi senilai Rp 10 juga hingga Rp 20 juta karena tak memiliki dokumen.
Mobil bak terbuka silih berganti memasuki Kampung Ebunut yang berada di tengah kawasan Sirkuit MotoGP. Mobil itu mengangkut barang milik warga seperti perabotan rumah tangga ke kampung lain.
Warga lainnya, Mawar mengaku belum memiliki tempat tinggal baru. Uang ganti rugi telah habis. Ia mengaku akan tinggal di gazebo untuk sementara sampai ada rumah untuk ditempati.
Rahmat (52), warga lainnya, juga sedang membereskan bangunan untuk pindah. Rumahnya hanya diganti Rp 10 juta.
Sementara gazebo miliknya tak dibayar, padahal biasanya gazebo berkaki enam harganya mencapai Rp 10 juta.
Damar, Lucile Job, Mawar, Rahmat dan warga lain memang memilih membongkar sendiri rumah mereka. Harapannya, ada material yang bisa terpakai untuk membangun rumah di temat lain.
Damar, istri dan anak-anaknya untuk sementara memilih mengontrak rumah di kawasan Kuta, Lombok Tengah. Sebagian besar warga menolak tinggal sementara di tempat relokasi karena bangunan yang tak layak.
"Di sana sangat sempit, panas dan tidak layak ditempati, atapnya sangat bising, kalau hujan turun airnya bisa masuk karena rendah," Kata Lucile dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Baca juga: Soal Pelanggaran HAM dalam Pembangunan Kawasan Mandalika, Ini Tanggapan Wamen BUMN
Lucile mengaku kecewa atas kebijakan pemerintah yang memaksa warga membongkar rumahnya saat Ramadhan tiba.
"Ini diminta pergi saat puasa tiba, tidak ada respek bagi warga yang terdampak oleh proyek besar ini," katanya sambil mendekap bayinya.
Selain tanah dan bangunan, proyek sirkuit itu juga membuat 300 makan terbongkar. Warga juga membongkar sendiri makam keluarga mereka.
Mereka mengumpulkan tulang belulang keluarga mereka untuk dipindahkan ke makam di luar kawasan sirkuit.
"Ini betul betul menyakitkan, bayangkan kami saja terusir, hingga jejak kematian kami harus angkat kaki dari tanah ini, seolah tidak boleh ada jejak kami yang tertinggal di kawasan sirkuit ini," kata Sibawaeh, warga yang memilih bertahan di tanahnya, di tikungan sembilan Sirkuit Mandalika.
Sibawaeh mengaku ada makam keluarganya yang juga dibongkar, dan itu membuatnya kecewa.
Satir (53), warga Ebunut yang juga memilih bertahan di lahan yang ditempatinya bersama orang tuanya, merasakan hal yang sama. Makam sanak keluarganya harus dibongkar karena proyek sirkuit.