Sekitar tujuh tahun lalu, Sukir kali pertama membuat transportasi itu bukan untuk masyarakat umum.
Dipicu keluarganya kesulitan mengakses desa luar karena terpisah sungai besar.
Hingga dia berinisiatif membuat getek untuk menyeberangkan anggota keluarganya.
Ternyata warga lain atau tetangganya ikut meminta bantuan menyeberang. Sukir pun dengan senang hati membantu mereka.
Baca juga: Warga Kebumen Bisa Pakai Camry Mobil Dinas Bupati untuk Acara Pernikahan, Gratis
Alhasil, sejak saat itu ia tidak hanya menyeberangkan anggota keluarganya namun juga warga yang butuh pertolongan.
Bukan cuma manusia, ada pula sepeda motor atau gerobak. Tak dinyana, aktivitas itu sekaligus menjadi sumber mata pencahariannya.
Warga yang terbantu olehnya biasa memberi uang jasa secara sukarela, Sukir tak mematok tarif bagi jasa penyeberangannya.
Dia menerima berapa pun upah dari penumpang sebagai rizki yang disyukurinya.
"Penghasilan tak pasti. Kalau pas sepi tidak ada (pemasukan), cuma satu dua (penumpang). Kalau yang ngasih Rp 10 ribu ya ada, Rp 5 ribu ada, dan Rp 2 ribu juga ada," jelasnya.
Baca juga: Mandi di Laut, Pencari Undur-undur di Kebumen Hilang Terseret Ombak
Punya usaha penyeberangan tradisional bukan tanpa risiko. Dia harus memastikan keselamatan penumpangnya terjaga sampai tujuan.
Terlebih moda transportasinya masih manual dan sangat sederhana.
Sukir tak segan menegur penumpangnya yang posisi tubuhnya terlalu di pinggir. Dia meminta penumpang untuk menggeser posisinya ke tengah agar keseimbangan perahu terjaga.