Warga merasa relokasi itu membuat pos ronda menghadap ke rumah Binbin.
Selain itu, tembok beton itu dibangun oleh warga sekitar karena Binbin membuat pagar yang menutup akses warga ke RT lain.
Padahal, pagar itu memang berada di tanah milik Binbin.
"Awalnya keluarga Pak Binbin pindahkan pos ronda di ujung jalan ke samping dan menghadap rumah Pak Binbin. Warga tak terima karena menganggap pos ronda itu milik umum dan berada di batas RT. Akhirnya atas kesepakatan warga, dibuatlah pagar beton," ujar Dedi.
Dedi mengatakan, pagar beton itu mengadang garasi rumah di pinggirnya, sehingga mobil milik Binbin tak bisa keluar.
Konflik antar tetangga ini sudah berlangsung sekitar 1 tahun.
"Secara ekonomi, Pak Binbin dan Ibu Neni baik. Punya rumah bagus dan tanah luas. Ada semacam kecemburuan dan juga kekhawatiran pasangan ini akan membangun real estate. Tapi alasan itu tidak masuk akal. Enggak mungkin real estate dibangun di lahan sekitar 200 meter persegi," kata Dedi.
Menurut Dedi, persoalan seperti ini sudah lumrah terjadi di kompleks dengan penghuni yang heterogen.
Warga di setiap lokasi memiliki karakter dan budaya berbeda.
Namun, menurut Dedi, persoalan itu seharusnya bisa diselesaikan apabila aparat pemerintah mulai dari lurah hingga camat punya keberanian untuk bersikap adil.
"Rata-rata aparat dari lurah dan camat relatif tak punya nyali tinggi di hadapan masyarakat," ujar Dedi.
Namun, setelah diberikan pengertian, akhirnya seluruh warga sepakat agar tembok itu dibongkar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.