Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Maestro Musik Sunda Tan Deseng, Gelisah Artefak Seni Sunda Hilang Begitu Saja (2)

Kompas.com - 12/02/2021, 13:55 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Perekam dan pemutar pita 4 trek di studio mini terlihat terawat. Bahkan alat tersebut masih berfungsi dengan baik.

Alat tersebut dibeli Titim Fatimah tahun 1970an seharga Rp 70 juta. Titim merupakan sinden ternama yang menjadi acuan para sinden sesudahnya.

Titim membeli perekam dan pemutar pita itu untuk Tan Deseng. Seniman Sunda yang serius menggeluti bidang perekaman ini, namun memiliki keterbatasan finansial.

"Selain menjadi seniman, saya suka merekam. Sudah sejak tahun 1950an. Tujuannya bukan untuk mencari uang tapi belajar," ujar Tan Deseng saat ditemui Kompas.com di kediamannya, Rabu (10/2/2021).

Baca juga: Cerita Tan Deseng, Warga Tionghoa yang Pertama Kali Rekam Dalang Legenda Abah Sunarya

Ada banyak pagelaran yang direkam Tan Deseng. Seperti dalang Abah Sunarya (ayah dalang terkenal Asep Sunandar Sunarya). Dia lah orang yang pertama merekam pagelaran Abah Sunarya.

Kemudian ia merekam pesinden kondang Titim Fatimah. Lalu ada Euis Komariah, Tati Saleh, dan lainnya.

Memperkenalkan sistem ketuk tilu jaipong

Selain itu, Tan Deseng memperkenalkan 'ketuk tilu' yang menjadi dasar jaipong melalui pita rekamannya.

Dalam Ensiklopedi Musik, Volume 1 (1992), ketuk tilu pertama kali dimankan oleh Topeng Ali di Karawang.

Namun Tan Deseng lah yang memperkenalkannya melalui rekamannya yang digarap bersama pemusik rakyat drai Karawang.

"Rekaman ini (seolah) berjalan dengan ajaib, karena saya tidak punya uang. Saya pun belajar otodidak," ucap dia.

Rekaman yang terkumpul mencapai ratusan. Namun karena kemiskinan, ia tidak mampu merawatnya dengan baik.

Baca juga: Kisah Tan Deseng Si Maestro Musik Sunda: Walau Dapat Penghargaan 2 Presiden, Hidupnya Berpindah-pindah Tak Punya Rumah (1)

Tidak punya rumah, hidup berpindah-pindah

Budayawan Dadan Hidayat mengatakan, hingga kini Tan Deseng tidak memiliki rumah. Ia hidup berpindah-pindah dengan mengontrak.

Tan Deseng pernah mengontrak di rumah bilik. Karena lembab, satu per satu pita rekaman yang rusak.

"Yang terselamatkan sekitar 300an pita. Yang rusak pun sama jumlahnya sekitar 300an," ungkap Dadan.

Selain rusak, ada pula beberapa pita yang terpaksa dijual, meskipun masternya tetap ada di Tan Deseng. Ia menjualnya karena kemiskinan dan butuh uang untuk makan.

Tengah gelisah

Tan Deseng (kiri) saat menerima Dedi Mulyadi di rumah Tan Deseng, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (8/2/2021).Istimewa Tan Deseng (kiri) saat menerima Dedi Mulyadi di rumah Tan Deseng, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (8/2/2021).
Kini, Tan Deseng tengah gelisah. Di tengah umurnya yang tak lagi muda, ia khawatir, hasil rekaman yang dimilikinya sejak tahun 1950 akan rusak begitu saja.

Ia memiliki mimpi untuk mendigitalisasi ratusan pita tersebut. Namun lagi-lagi, ia terbentur pada persoalan dana.

"Abdi gaduh gembolan (pita rekaman), teu acan tuntas. Ieu gembolan kedah diwangsulkeun," tutur dia.

Intinya, dalam usianya yang sepuh, ia memiliki harta karun berupa pita rekaman yang harus dikembalikan ke orang Sunda. Karena itu, ia merasa jalannya belum tuntas.

Karena itulah ia menghubungi beberapa orang yang peduli terhadap seni dan budaya Sunda. Salah satu yang menanggapi adalah Budayawan Dedi Mulyadi.

Dedi berjanji akan membantu proses digitalisasi ini. Ia kini tengah menunggu pengajuaan RAB dari Tan Deseng.

Masternya nanti bisa saja dimuseumkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com