Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Umbi Lengkir, Sejenis Porang, Komoditas Ekspor yang Belum Tergarap di Bangka Belitung

Kompas.com - 21/09/2020, 18:47 WIB
Heru Dahnur ,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANGKA BARAT, KOMPAS.com - Umbi lengkir atau sejenis umbi porang menjadi salah satu komoditas ekspor yang kini belum tergarap maksimal di Kepulauan Bangka Belitung.

Tanaman yang tumbuh subur di wilayah pesisir pantai tersebut sejak lama telah digunakan masyarakat sebagai bahan baku makanan.

"Lengkir ini mudah tumbuh, bahkan di pekarangan rumah. Kami biasanya mengolahnya menjadi tepung dan dibuat berbagai macam makanan," kata warga Dusun Tanjung Punai Belo Laut, Bangka Barat, Qamar di rumahnya, Minggu (20/9/2020).

Baca juga: Terdampak Corona, Puluhan Karyawan RS di Bangka Belitung Di-PHK

Qamar menuturkan, umbi lengkir dibudidayakan secara tradisional karena merupakan warisan turun-temurun.

Untuk itu, tidak diperlukan lahan yang luas, apalagi harus mengeluarkan biaya untuk pupuk dan anti hama.

"Kami tahunya dari orang tua sejak dulunya. Ada lima sampai sepuluh batang di sekitar rumah," ujar dia.

Dari tepung umbi lengkir tersebut, Qamar membuat berbagai kue seperti kue rangai, ongol ongol, mie dan rintak sagu.

Baca juga: Layangan Picu Pemadaman Listrik Belasan Kali di Bangka Belitung

Bahkan diyakini, kue berbahan umbi lengkir rasanya lebih renyah dibandingkan bahan ubi tepung tapioka.

Tidak hanya, Qamar, warga lainnya di daerah Belo Laut juga menanam umbi lengkir di kebun atau halaman rumah mereka.

Warga tersebut juga telah terbiasa mengolah umbi lengkir sebagai bahan baku makanan.

Kepala Seksi Perencanaan dan Pengelolaan Hutan KPHP Rambat Menduyung Bangka Barat, Ardianeka mengatakan, tanaman umbi lengkir masih dikelola untuk skala kebutuhan rumahan.

Baca juga: Cerita Kepala BPBD Bangka Belitung yang Dikarantina karena Covid-19

Umbi lengkir sama halnya dengan tanaman porang yang namanya lebih populer, khususnya di kalangan petani di Pulau Jawa.

"Lengkir merupakan komoditas yang baik untuk dikembangkan karena bisa tumbuh tumpang sari. Dengan penggunaan yang luas, kita tak perlu membuka hutan," ujar Ardianeka.

Pihaknya kata Ardian, terus menyosialisasikan pada masyarakat agar budidaya lengkir lebih digiatkan. Sehingga bisa membantu perekonomian masyarakat.

"Kami ingin ini didorong secara masif. Bagian dari program pemerintah daerah. Namun dalam anggaran ini sepertinya belum prioritas," sebut Ardian.

Di sisin lain Ardian mengingatkan, setiap pengolahan umbi-umbian tentunya menimbulkan limbah yang harus dikelola profesional.

"Salah satu kandungan lengkir jika diolah menjadi tepung adalah terdapat kandungan sianida di dalam limbah tersebut. Kemungkinan karena jenis porang dan lengkir saya, tentu kandungan di dalamnya juga tidak jauh berbeda. Lebih bijak saja dalam proses pengolahannya," ucap Eka.

Menurut Eka, pemanfaatan kawasan hutan terutama lahan terbuka, lebih recommended porang atau lengkir. Karena bisa tumpang sari, tidak seperti tanaman singkong yang harus di lahan terbuka, tidak bisa menjadi tanaman sela

"Di dalam program kehutanan singkong tidak bisa masuk untuk kita budidaya, meskipun secara aturan bisa menanam tanaman kehidupan 10 hingga 20 persen, namun saya pribadi tidak menganjurkannya. Ini jika kita bicara dengan program dari kehutanan. Karena jika bicara di luar kehutanan, tentu saja masyarakat boleh budidaya tanaman apa saja yang bisa meningkatkan perekonomiannya, selama lahan tersebut bukan kawasan APL atau areal penggunaan lain," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com