Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dulu Suka Mabuk, Mantan Preman Kini Dirikan Gubuk Baca agar Tak Ada Anak Putus Sekolah

Kompas.com - 31/08/2020, 15:33 WIB
Andi Hartik,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com – Hari masih pagi saat Sabrina Helsi Aulia (9) menenteng sampah berbungkus plastik menuju salah satu rumah warga di Kampung Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Minggu (30/8/2020). Sampah itu lantas diletakkan di atas meja.

Hal serupa juga dilakukan dua temannya, Tasya Hepi Anggraeni (9) dan Karisma Dwi Safitri (10). 

“Iya bawa sampah dari rumah. Ada botol, ada plastik,” kata Sabrina yang masih duduk di bangku kelas 3 SD.

Baca juga: Adik Ipar Tewas di Tahanan, Edo Kondologit dan Keluarga Geruduk Mapolres Tuntut Keadilan

Mereka menuju halaman warga yang cukup luas. Di sana sudah menunggu teman-temannya yang sudah datang terlebih dahulu.

Ada sekitar 20 anak yang masih duduk di bangku SD berbaris halaman tersebut.

Tidak lama kemudian, latihan senam dimulai. Setelah itu, anak-anak belajar Tari Bapang. Selendang yang menjadi atribut Tari Bapang terikat di pinggang anak-anak tersebut.

Sesekali mereka mengangkat ujung selendang sembari mengikuti gerakan tarian. Musik gamelan mengiringi tarian anak-anak itu.

Baca juga: Adik Ipar Ditembak lalu Tewas Dianiaya di Tahanan, Edo Kondologit: Kalian Mau Cuci Tangan?

Layaknya anak kecil yang masih belajar, gerakannya masih belum beraturan.

Namun, raut wajah ceria memberikan harapan untuk masa depan anak di kampung terpencil itu.

“Setiap hari Minggu main ke sini, belajar nari,” kata Karisma.

Belajar senam dan menari sudah menjadi agenda rutin anak-anak di Kampung Busu di Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung.

Kampung ini merupakan salah satu kampung tertinggal di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Mereka memanfaatkan rumah milik Kusnadi Abit untuk belajar.

Kusnadi merupakan seorang mantan preman yang kini membuka sebuah tempat belajar bernama Gubuk Baca Lereng Busu.

 

Jangan berpikir bahwa belajar yang dimaksud adalah belajar seperti di sekolah dan menggunakan seragam.

Di tempat ini, anak-anak bebas untuk belajar apapun sesuai minat mereka.

 

Pendiri Gubuk Baca Lereng Busu, Kusnadi Abit (kaos putih) saat mengajari anak-anak di kampunya Tarian Bapang, Minggu (30/8/2020).KOMPAS.COM/ANDI HARTIK Pendiri Gubuk Baca Lereng Busu, Kusnadi Abit (kaos putih) saat mengajari anak-anak di kampunya Tarian Bapang, Minggu (30/8/2020).

Misalnya pada hari Minggu, anak-anak berdatangan ke rumah tersebut untuk senam dan menari.

Mereka juga belajar membuat kerajinan tangan melalui sampah yang dibawa.

Sedangkan ketika Senin sampai Jumat, anak-anak datang malam hari. Mereka mendalami pelajaran yang sudah diajarkan di sekolah, seperti matematika, bahasa inggris, bahasa Jawa, dan Bahasa Indonesia.

Terlebih saat pandemi, banyak mata pelajaran yang harus didalami. Karena pembelajaran di sekolah hanya diikuti dengan sistem daring.

Mereka didampingi oleh kakak tingkatnya yang sudah duduk di bangku SMP, SMA, dan juga perguruan tinggi.

“Supaya adik-adik senang belajar juga dikasih permainan, tebak-tebakan,” kata Amelia Uswatun Hasanah, siswa kelas 11 di SMK Ahmad Yani, Jabung yang menjadi salah satu pendamping di Gubuk Baca.

Ada 26 orang yang mendampingi sekitar 120 siswa yang kerap datang untuk belajar tempat itu. Mereka datang dan belajar sesuai dengan bakat dan minat yang ingin ditekuninya.

Didirikan oleh mantan preman

Gubuk Baca Lereng Busu berdiri sejak tahun 2015. Ketika itu, Kusnadi Abit (39) atau yang akrab disapa Cak Kus termotivasi oleh rekannya di Gang Tato, Desa Kemantren, Jabung.

Warga di gang itu banyak yang bertato, berpendidikan rendah, dan lekat dengan minuman keras.

Setelah Gubuk baca di gang tersebut, semua stigma negatif berubah.

“Saya terpicu oleh teman-teman saya yang di Gang Tato. Kerjaannya biadab tok. Tahu-tahunya temanku yang dulu kayak begitu, yang notabene banyak merugikan orang, sekarang kok kayak gitu ya (berubah jadi produktif). Nyoba ikut-ikut,” katanya.

Kusnadi yang juga seorang preman juga kerap mabuk dan berkelahi. Tidak jarang dia mengajari anak yang masih duduk di bangku SD untuk mabuk.

Namun itu sudah berlalu, Gubuk Baca telah menjadi titik balik perubahan sikapnya.

“Teman saya yang notabene paling nakal pun bisa, saya juga bisa. Semua niat baik ini semoga menghapus kesalahan yang dulu,” jelasnya.

Kusnadi menyisihkan ruangan di rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat belajar.

Sedangkan untuk pembelajaran yang butuh ruang terbuka, ia memanfaatkan halaman rumah tetangga atau lapangan di seberang jalan gang rumahnya.

Gubuk baca itu menjadi bagian dari Republik Gubuk yang diprakarsai oleh Fachrul Alamsyah atau akrab disapa Irul.

 

Gubuk Baca Lereng Busu saat ini terdiri dari tiga gubuk, yakni Gubuk Baca Kampung Tretek yang ada di rumah Kusnadi, Gubuk Baca Lari Selatan, dan Gubuk Baca Kiai Said.

Gubuk-gubuk itu didirikan untuk menjangkau lebih dekat anak-anak yang ingin belajar.

Agar tak putus sekolah

Angka putus sekolah di Kampung Busu sangat tinggi. Apalagi, kampung itu menjadi kampung terluar di Kabupaten Malang.

Nama Busu berasal dari kata bucu yang berarti pojok. Kampung itu berada di pojok timur sisi utara atau timur laut, dan berbatasan langsung dengan pegunungan Tengger.

Anak-anak Desa Jabung, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, belajar di Gubuk Baca Lentera Negeri, Rabu (20/5) petang. Desa ini merupakan salah satu desa terbelakang di bidang pendidikan karena masih banyak siswa putus sekolah, bahkan tidak sekolah, dan banyak kasus buta aksara.KOMPAS/DAHLIA IRAWATI Anak-anak Desa Jabung, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, belajar di Gubuk Baca Lentera Negeri, Rabu (20/5) petang. Desa ini merupakan salah satu desa terbelakang di bidang pendidikan karena masih banyak siswa putus sekolah, bahkan tidak sekolah, dan banyak kasus buta aksara.

Di balik pegunungan itu sudah masuk wilayah Kabupaten Pasuruan.

Pada tahun 2015 ke belakang atau sebelum Gubuk Baca berdiri, rata-rata warga di kampung itu hanya lulusan SD.

Mereka yang kebanyakan menjadi peternak sapi perah enggan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Begitu juga dengan anak-anaknya, selepas SD mereka memilih untuk membantu orangtua beternak sapi.

“Orangtuanya kan banyak peternak, kalau sudah lulus SD, apalagi laki-laki, tidak disarankan untuk sekolah malahan. Malah disarankan untuk nyari rumput,” katanya.

Pola pikir masyarakat seperti itu membuat angka putus sekolah dari generasi ke generasi cukup tinggi.

Karena itu, selain untuk memberikan pembelajaran, Gubuk Baca juga memotivasi anak-anak supaya sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke perguruan tinggi.

Seiring dengan berkembangnya Gubuk Baca, warga juga mulai termotivasi untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi lagi.

Motivasi warga itu disebabkan oleh kedatangan berbagai kalangan ke Gubuk Baca. Seperti mahasiswa untuk mengabdikan diri mengajari anak-anak.

 

“Setelah kita berpartisipasi dengan belajar seperti ini, lalu kedatangan mahasiswa, mereka termotivasi untuk sekolah lanjutan. Orangtuanya secara tidak langsung juga mulai sadar edukasi,” katanya.

Saat ini sudah ada sekitar 30 warga di kampung tersebut yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Anak kampung tidak lagi berhenti setelah tamat SD.

Kusnadi berharap akan lebih banyak lagi generasi di kampungnya yang berpendidikan tinggi.

“Biar kita yang tua-tua ini pendidikannya rendah. Yang penting adikku, anakku, generasi setelahku bisa sampai pada jenjang pendidikan yang tinggi biar mereka tidak kuper (kurang pergaulan), punya pengalaman luas, punya pendidikan yang lebih baik dan karir yang lebih baik juga,” katanya.

Kusnadi memiliki keyakinan, solusi untuk memecah kemiskinan adalah dengan pendidikan.

Berkaca dari pengalamannya yang hanya lulusan SMP, dia kerap ditolak saat mengajukan lamaran pekerjaan hingga akhirnya bekerja serabutan.

Otodidak

Kusnadi mengajarkan tari dan lukis kepada anak-anak di  Gubuk Baca. Ilmu itu dia pelajari secara otodidak.

Untuk pelajaran formal, Kusnadi menyerahkannya kepada para pendamping.

“Saya awalnya terpaksa karena anak-anak di sini mau ke sanggar banyak yang tidak punya uang. Jadi mau tidak mau saya harus bisa nari. Harus bisa apapun supaya mereka minta apapun bisa saya turuti. Saya tidak bisa gambar, saya belajar, setelah saya bisa anak-anak tidak usah kemana-mana. Saya lesi saja,” katanya.

Sampah rumah sebagai penopang

Belum lama ini, Kusnadi terpikir memanfaatkan sampah untuk menopang biaya operasional Gubuk Baca.

Anak-anak diminta mengumpulkan sampah yang ada di rumah mereka dan membawanya ke Gubuk Baca saat akan belajar di hari Minggu.

 

Anak-anak yang suka dengan kerajinan tangan diajari membuat kerajinan dengan sampah tersebut.

Misalnya mengolah sampah menjadi sebuah kerajinan ecobricks, repelika bunga anggrek, wadah pensil dan perhiasan.

“Minimal anak-anak bawa sampah dari rumah untuk mengurangi sampah di rumahnya,” katanya.

Hasil dari penjualan kerajinan tangan untuk membeli kapur tulis dan alat tulis lainnya untuk menunjang pembelajaran.

Sedangkan untuk buku, Gubuk Baca mendapat bantuan dari berbagai kalangan.

Saat ini sudah terkumpul sekitar 300 hingga 400 buku yang bisa dipakai oleh anak-anak. Mulai dari buku pelajaran formal hingga buku yang berisi tentang cerita anak.

“Buku banyak dari kampus-kampus dan sekolah. Republik Gubuk juga mencarikan link untuk buku,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com