Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Pulihkan Ekologi di Tengah Kepungan Tambang

Kompas.com - 07/06/2020, 17:27 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sejumlah kelompok masyarakat di beberapa daerah aktif menjaga dan memulihkan lingkungan yang rusak akibat pertambangan di berbagai daerah.

Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang, inisiatif pemulihan lingkungan yang rusak akibat tambang sekaligus menawarkan solusi ekonomi lain bagi masyarakat banyak.

Salah satunya dilakukan oleh Nissa Wargadipura yang mendirikan pesantren ekologi Ath-Thaariq di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Baca juga: Contoh Barang Tambang Nonmigas

Dilansir dari VOA Indonesia, Nissa mengatakan dia tergerak mendirikan pesantren ekologi karena resah dengan ancamab kris pangan dan alih fungsi lahan pertanian di wilayahnya.

Total ada sekitar 30 santri yang belajar di pesantren ekologi milik Nissa.

Untuk pesantreannya, Nissa memanfaatkan lahan seluas satu hektare untuk kebutuhan pangan secara mandiri. Para santri juga diajari untuk mengolah pertanian dengan menggunakan benih lokal dan bertani organik.

Baca juga: Tambang Emas Tradisional di Kalsel Longsor, 5 Orang Tewas Tertimbun, 1 Belum Ditemukan

Para santri laki laki pada kelas sore, setelah mengaji, bersama belajar dengan Nissa Wargadipura di Kebun Vertikultur Pesantren Kebon Sawah.Salwaa Khanza/pesantrenekologi.blogspot.com Para santri laki laki pada kelas sore, setelah mengaji, bersama belajar dengan Nissa Wargadipura di Kebun Vertikultur Pesantren Kebon Sawah.
"Setelah mengelola 10 tahun pesantren ekologi Ath-Thaariq di mana 1 jengkal pun tanah yang menganggur dan itu di-blow up untuk terus menanam menggunakan benih warisan. dan itu berhasil hanya dengan 1 hektar," tutur Nissa Wargadipura dalam diskusi online, Kamis (28/5) malam dilansir dari Voa Indonesia.

Nissa menuturkan pesantren ekologi miliknya juga berusaha memulihkan ekologi dengan mengembalikan mata rantai makanan di alam.

Semisal dengan menyediakan rumah ular dan burung hantu untuk mengatasi tikus di sawah.

Baca juga: Warga Tergeletak dengan Luka Tembak di Jalan Tambang Area PT Freeport Papua

Ia juga menerapkan sistem zonasi makanan seperti sawah untuk kebutuhan karbohidrat dan kolam ikan untuk pemenuhan protein, serta tanaman obat.

Nissa meyakini dengan cara seperti ini, keseimbangan ekologi dan ekonomi dapat tercapai tanpa harus mengalihfungsikan lahan.

"Zonasi herbal ada ditemukan di rumah-rumah ular, di rumpun-rumpun juga kami banyak menemukan tanaman obat. Ada serai, ada kenikir," tambahnya.

Baca juga: Pemerintah Akan Buka Kembali 9 Sektor Ekonomi, dari Pertambangan hingga Logistik

Ekopastoral di Pulau Flores

Para Santri Ath Thaariq sedang membuat Kompos Cacingpesantrenekologi.blogspot.com Para Santri Ath Thaariq sedang membuat Kompos Cacing
Sementara itu di wilayah Indonesia Timur, Alsis Goa, seorang Pastor dari Ordo Fransiskan juga terlibat dalam pendampingan masyarakat yang tersingkir karena industri tambang di Pulau Flores, Lembata, Sumba dan Timor di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Selain advokasi, ia mengembangkan ekopastoral yang fokus pada pengembangan pertanian organik, konservasi hutan, dan air, serta produksi pupuk dan pestisida organik.

"Ekopastoral yang kami lakukan, itu sesuatu yang terkait keselarasan, keutuhan hidup dengan alam. Karena itu di dalam ekopastoral yang dikembangkan adalah pertanian organik, karena modelnya yang selaras dengan alam," jelas Alsis Goa.

Baca juga: Longsor Tambang Emas di Kalsel, 5 Petambang Tewas Tertimbun

Di bidang pendidikan, ekopastoral juga mendampingi pemuda atau anak sekolah untuk mengembangkan muatan lokal pertanian organik.

Namun, pengembangan ekopastoral masih terkendala sejumlah hal. Antara lain pembangunan Indonesia yang masih menganaktirikan pertanian dan tergerusnya lahan karena pertambangan.

Upaya penyelamatan lingkungan juga dilakukan Iwan Bento, warga Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Ia bersama warga lainnya berhasil menghentikan aktivitas sejumlah perusahaan tambang di kawasan karst Maros-Pangkep.

Baca juga: Situs Warisan Dunia Tambang Ombilin Bisa Tarik Wisman ke Sawahlunto

Ia kemudian menginisiasi ekowisata di wilayahnya sebagai sumber pendapatan alternatif masyarakat, agar tidak kembali ke pertambangan.

"Ekowisata itu menjual beberapa unsur, yang saya pikir hampir semua wilayah Indonesia memiliki, yaitu alam, sejarah, dan budaya. Saya yakin tiga-tiganya setiap wilayah punya," jelasnya.

Menurutnya, ekowisata ini merupakan aktivitas yang legal dan sejalan dengan rencana pemerintah dalam pengembangan pariwisata nasional.

Baca juga: 15 Karyawan Tambang Freeport Positif Corona Dinyatakan Sembuh

Masalah Pertambangan

Tanda Dilarang Berenang tampak di bekas lubang tambang batu bara yang terisi air di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, 30 Agustus 2019.Reuters Tanda Dilarang Berenang tampak di bekas lubang tambang batu bara yang terisi air di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, 30 Agustus 2019.
Jatam mencatat ada 3.092 lubang tambang batu bara yang terbuka berisi air beracun dan mengandung logam berbahaya di berbagai wilayah Indonesia.

Jumlah korban jiwa akibat lubang tambang telah mencapai 143 orang, yang mayoritas masih anak-anak.

Menurut Jatam, target reklamasi dan rehabilitasi lubang dan lahan bekas tambang setiap tahunnya tidak tercapai.

Terakhir pada 2019, dari target reklamasi 6.950 hektare hanya tercapai 6.748 hektar.

Baca juga: Kericuhan di Tambang Ilegal, Tujuh Polisi Disekap dan Kapolsek Terkena Tusukan

Kondisi ini berbanding terbalik dengan laju produksi dan pembukaan lahan konsesi tambang baru.

Semisal pada 2018, batas produksi batu bara yang semestinya 413 juta ton, tetapi realisasinya menjadi 477 juta ton. Begitu pula pada 2019, dari rencana produksi 489,7 juta ton, terealisasi 502,6 juta ton.

Jatam juga mencatat terdapat 8.588 izin usaha pertambangan atau 44 persen dari luas daratan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 738 izin di antaranya terhubung dengan kawasan rawan bencana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com