Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Obituari Didi Kempot: Tentang Rasa Perih

Kompas.com - 11/05/2020, 06:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMATIAN seniman pelantun lagu Campursari, Didi Kempot, melaburkan rasa perih personal pun komunal. Almarhum tak hanya milik orang Jawa.

Perasaan sejenis lumrah menyembul saat ini, jika mengingat, Didi Kempot mengungkap soal luka hati berlarat-larat.

Didi Kempot mendekatkan siapa saja, mewariskan kenangan cukup kuat dengan mudah. Sebab, lagu-lagunya punya cita rasa melodius nan mendayu, plus komposisi yang gampang dicerna.

Hampir tiap tema-tema lagunya mengaduk-aduk emosi, membuat “sakit tak terperi yang tak mati-mati’, dan secara sukarela pengagumnya malahan merayakan bepergian ke “kedalaman patah hati”.

Baca juga: Digalang, Petisi Pendirian Patung Didi Kempot di Stasiun Balapan Solo

Konser-konsernya tahun lalu mengguncang jagat media sosial, lalu menjadikannya mega bintang yang menghilangkan sama sekali kendala bahasa (Jawa).

Didi Kempot berulang kali membuat "remuk-hati", usai akhir 90-an tenar denga hits-nya "Stasiun Balapan", sekarang ia ditabalkan sebagai Sang Maharaja Patah Hati.

Maka, para milenial menangis-tertawa berjoget bersamanya. Menciptakan kehebohan di luar panggung dan di dalam panggung studio televisi.

Didi Kempot kemudian berpulang, purna sebagai manusia. Namun ia bisa jadi tak hanya mewariskan syair-syair pedih, tapi soal lain yang mengulik peristiwa-peristiwa komunal seperti kesakitan karena diingkari janji, tuntutan keadilan, atau malahan kesenjangan sosial.

Didi Kepot tampil di acara Kemendikbud yaitu Pekan Kebudayaan Nasional, Oktober 2019. Dok. Dokumentasi PKN 2019, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Didi Kepot tampil di acara Kemendikbud yaitu Pekan Kebudayaan Nasional, Oktober 2019.
Sebuah kondisi kejiwaan yang tak hanya personal, tapi suasana “luka sosial”. Mari kita berhulu pada rasa dulu, yang para fans fanatiknya memanifestasikan kondisi batin yang gundah-gulana itu sebagai ambyar, remuk berkeping-keping.

Baca juga: Monumen Didi Kempot di Stasiun Balapan, Bermula Petisi hingga Wali Kota Surati Menteri..

Coba kita cermati lirik lagu Didi Kempot, utamanya 3 lagu paling fenomenal, beberapa cuplikan syair, yang pertama ini, lagu "Ambyar":

Wis kebacut ambyar
Remuk sing neng ati
Opo ngene iki
Sing jenenge korban janji
….
Ning ngopo kowe lungo
Nyikso aku koyo ngene


Orang-orang Jawa kebanyakan memahami kata ambyar, adalah sebagai kondisi kerusakan sebuah benda. Sebagai rasa, menjadikannya sanepo.

Mirip metafora tersembunyi yang boleh ditafsir kondisi terpaan hebat emosi orang yang dilanda bertepuk sebelah tangan (cinta).

Namun bisa juga mereka yang merasakan nirharapan, lelah pun lungkrah menjalani hidup tanpa kepastian, juga kehampaan karena dulu diiming-imingi janji. Entahlah, mungkin janji politik?

Baca juga: Gofar Hilman: Didi Kempot Minta Lagunya Dijaga sebagai Warisan

Kita bisa tilik lirik lagu "Cidro", yang ke-2, yang cukup mengena dalam konteks kesenjangan sosial. Silakan dilihat:

Gek opo salah awakku iki
Kowe nganti tego blenjani janji
Opo mergo kahanan uripku iki
Mlarat bondo seje karo uripmu?


Bukan sakit fisik, atau kematian raga yang meremukkan, tapi Didi Kempot selama hidup bisa jadi sedang menitipkan ketakberdayaan orang-orang kecil, yang tak bisa meraih harapan-harapan.

Kalau menurut cerita, Didi Kempot menyukai merekam lagu-lagu barunya di studio-studio kecil di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Penyanyi campursari, Didi Kempot saat cek sound sebelum acara program Rosi di Kompas TV di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (1/8/2019).KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Penyanyi campursari, Didi Kempot saat cek sound sebelum acara program Rosi di Kompas TV di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Operatornya, jika tak ada order rekaman, memilih bertani. Selain tentunya kita tahu banyak informasi di media sosial bahwa Kempot, nama belakang yang sohor itu dari latar hidup susahnya dulu dalam Kelompok Pengamen Trotoar.

Dudu klambi anyar
Sing neng njero lemariku
Nanging bojo anyar
Sing mbok pamerke neng aku


Jika kita membaca cuplikan syair lagu ke-3 (terakhir), "Pamer Bojo" di atas, kegetiran disodorkan dengan sebuah strategi tuturan: ia membenturkan benda/objek mati dengan mengandaikan asosiasinya dengan makhluk hidup, dengan membayangkan akan kepemilikan paling berharga, sang kekasih hati digadaikan. Sebuah kisah tragik.

Sebenarnya, Didi Kempot bisa juga kita kaitkan dengan bagaimana ia menyentuh problem psikologi personal dengan cara lain. Yaitu menggambarkan nasib manusia yang acapkali ringkih pada rasa sakit.

Ia memintalnya dengan isyarat-isyarat gugatan yang diredam justru oleh dirinya sendiri. Sebagai sebentuk penerimaan, nerimo, khas kosa-kata orang Jawa.

Seorang psikiatris, Elizabeth Kubler Ross, dengan buku On Death and Dying, meneliti orang-orang dalam kondisi sekarat secara klinis, dengan memahami gejala-gejala seperti fase-fase tertentu.

Didi Kepot tampil di acara Kemendikbud yaitu Pekan Kebudayaan Nasional, Oktober 2019. Dok. Dokumentasi PKN 2019, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Didi Kepot tampil di acara Kemendikbud yaitu Pekan Kebudayaan Nasional, Oktober 2019.
Berawal dari sikap penolakan, kemudian abai pada kondisi kritis karena mengidap penyakit berat. Seterusnya marah, dengan misalnya menyalahkan sistem perawatan rumah sakit dan tiba pada fase separuh berharap akan sembuh atau sebaliknya menjadi depresi, karena memikirkan kondisi menyakitkan menjelang mati, yang akhirnya bermuara pada kepasrahan.

Kondisi terakhr semacam itu, adalah sebuah pencerahan spiritual dengan memeluk setiap kemungkinan apa pun yang menimpa.

Didi Kempot, dengan indah, mungkin ia dalam pengalaman merangkai sebuah lagu, boleh kita tafsirkan dengan yang lain, tragiknya rasa sakit entah disebabkan oleh apa saja itu, mengungkapkan fase-fase saling tindih yang disebut Elizabeth Kubler Ross pendakian pada titik terakhir, yakni: ikhlas.

Rasa perih itu berangsur-angsur ambyar seketika.

Kita tak akan pernah lagi mendengar syair-syair baru yang merana tak terperi dari almarhum. Yang pasti ada banyak generasi yang membawa rasa perih itu dengan cara Didi Kempot bersenandung dengan lagu-lagu Campursari yang lain.

Sugeng Tindak Mas Didi, umpamane njenengan wis mulyo (nang Swargo), lilo aku lilo(Bambang Asrini Widjanarko, Kurator Seni)


 

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com