Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id; Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia dan Pelestari Tradisi Lisan;  Pengurus Lesbumi PBNU 2022--2027. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas, serta menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Masureq Lagaligo: Merawat Ingatan Dunia, Membaca Suara Zaman

Kompas.com - 30/12/2019, 16:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Maka itu, film, televisi, dan iklan menjadi target utama untuk penelitian dan analisis tekstual, begitu kata Turner (1999: 48).

Dengan demikian, film sangat representatif untuk dipakai sebagai media untuk mengingatkan lagi, dalam hal ini mengingatkan tentang ingatan dunia.

Indonesia bahkan sudah memiliki delapan karya yang menjadi Memory of the World, yang tujuan digagasnya oleh UNESCO adalah untuk melindungi warisan budaya yang berupa naskah, arsip, audio visual, dan dokumen tertulis lain yang bernilai signifikan melampaui batas waktu, negara atau budaya.

Ingatan dunia yang teregristrasi di UNESCO mencerminkan keragaman bahasa, etnik, dan budaya.

Memory of the World yang pertama dicatatkan Indonesia bersama Belanda adalah Arsip VOC, pada rahun 2004. Juga bersama Belanda, Indonesia mencatatkan naskah La Galigo pada tahun 2011.

Naskah Nagarakretagama atau Desyawarnana (1365) menjadi ingatan dunia pada tahun 2013, juga Babad Diponegoro.

Arsip Konferensi Asia Afrika diregristrasi pada tahun 2015. Pada tahun 2017, Indonesia mencatatkan tiga ingatan dunia, yakni Arsip Tsunami Samudera Hindia dan askah Panji, dan Arsip Konservasi Borobudur.

Karya sastra terpanjang

Mengapa Lagaligo harus menjadi ingatan dunia? Bagi sejarawan Mukhlis PaEni yang berasal dari Wajo Sulawesi Selatan, Lagaligo menjadi penting karena ia adalah karya sastra terbesar/terpanjang di dunia, dengan 6.000 halaman folio dan 250.000 kata itu.

Lagaligo perlu menjadi warisan dunia yang harus diketahui oleh masyarakat akademisi dan cendekiawan di seluruh dunia.

Apalagi saat ini Lagaligo juga tersimpan di perpustakaan-perpustakaan dunia seperti di Inggris, Australia, dan AS. Lagaligo penting menjadi ingatan kolektif bagi manusia Indonesia baru, agar generasi mendatang bisa membacanya.

Sudirman Saban, Kepala Seksi Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wajo menegaskan pentingnya Masureq sebagai karya penting dan warisan budaya dunia, sehingga kita memiliki tanggung-jawab pada naskah ini.

Ia dengan sokongan pemerintah setempat kemudian mendirikan Sekolah Budaya Bugis, yang kegiatannya di antaranya mengelola dan mempelajari naskah serta abjad Bugis, termasuk menuturkan naskah Lagaligo. Sekolah disasarkan utamanya untuk para guru SMP.

Bupati Wajo Amran Mahmud bersama masyarakat Wajo merasa bangga bahwa Lagaligo diakui UNESCO menjadi ingatan dunia.

“Ajaran” dalam Lagaligo selalu relevan bagi kehidupan manusia sampai kapan pun, karena menceritakan kisah-kisah kepahlawanan, keuletan, kekerabatan, romantika kehidupan, dan percintaan.

Lebih dari itu, lantunan pengkisahan Lagaligo dalam bentuk Masureq sesungguhnya adalah suara zaman yang senantiasa mengingatkan orang bugis agar ia menjaga harkat, siri (babak kesejarahan), dan harga dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Saya rasa pendokumentasian tradisi lisan-tradisi lisan makin mendesak dilakukan, bukan untuk mengeliminasi sifat kelisanan tradisi tertentu, tetapi untuk dimasukkan ke dalam semacam “bank tradisi lisan”.

Kepentingannya untuk masyarakat yang ingin mempelajarinya namun akses (dana, waktu, kesempatan, dll) terbatas. Adapun proses pewarisan tradisi lisan tetap dilakukan oleh pelaku tradisi dan masyarakat penyokongnya.

Memory of the World UNESCO menjadi penting untuk membangunkan dan membangkitkan kesadaran khalayak secara global.

Sosialisasi atau distribusi informasinya tinggal dipilih, karena kini makin bersifat horizontal. Jika dulu dikenal istilah dari mulut ke mulut, kini dari Messenger ke Messenger, dari WhatsApp (WA) ke WA, dari Line ke Line, dari YouTube, Facebook, Twitter, Instagram.

Jika ingin lebih terasa “otoritatif”, bisa melalui blog yang disediakan oleh media-media daring arus utama seperti Kolom di Kompas.com ini atau unggah ke blog sendiri. Komunikasi dan marketing makin horizontal, jangan takut….. (Susi Ivvaty)

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com