Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id; Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia dan Pelestari Tradisi Lisan;  Pengurus Lesbumi PBNU 2022--2027. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas, serta menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Masureq Lagaligo: Merawat Ingatan Dunia, Membaca Suara Zaman

Kompas.com - 30/12/2019, 16:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BULAN bulat menerangi malam, menemani Indo Masse membaca selembar naskah Lagaligo (La Galigo, I La Galigo).

Indo Masse tidak sembarang membaca, ia menembangkannya, membaca dengan irama tertentu yang khas, kadang meliuk, kadang melengking, seperti mengaji.

Penerangan cukuplah dengan lampu minyak. Di sampingnya, satu sisir pisang dan satu kelapa utuh sebagai sesaji, yang akan dikonsumsi nanti.

Apa yang Indo Masse lakukan, disebut Masureq atau lengkapnya Masureq Lagaligo, yakni proses pembacaan naskah La Galigo. Pembacanya dinamai Pasureq. Adapun tradisi membaca dengan melantunkan syair itu disebut Sureq.

Baca juga: Menjaga Asa Pelestarian Tradisi Lisan

Setelah beberapa bait, Indo Wero (putri Indo Masse), menggantikan ibunya, meneruskan pembacaan naskah Lagaligo.

Giliran membaca selanjutnya adalah Rahmadani, putri Indo Wero. Pertunjukan sureq oleh tiga generasi, Indo Masse—Indo Wero—Rahmadani dalam satu masa itu seolah meretas waktu.

Masureq oleh Indo Masse, Indo Wero, dan Rahmadani, yang kemudian dilanjutkan dengan tradisi Pakurusumange oleh para Bissu di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan itu terekam di dalam film pendek yang diproduksi Asosiasi Tradisi Lisan Film bekerjasama dengan Pradaksina Kreasi Film Yogyakarta.

Produsernya, Ketua ATL Pudentia MPSS dan sejarawan Mukhlis PaEni membuat film pendek tersebut untuk mendokumentasikan tradisi lisan Sureq yang saat ini masih bertahan di Wajo.

Sepanjang film berdurasi sekitar 18 menit itu, lantunan suara Indo Masse, Indo Wero, dan Rahmadani menjadi latar belakang gambar-gambar maupun pernyataan beberapa narasumber.

Tidak dibutuhkan beragam musik pengiring (theme song/scoring) untuk mempercantik film, karena lantunan lagu dalam Sureq dan Pakurusumange yang ditimpali dengan alat musik pukul setempat justru telah sempurna menunjukkan pernyataan produser dan sutradara, Margaretha Rini, atas film itu, yakni menonjolkan tradisinya.

Bangga rasanya masih ada tiga generasi yang tidak putus menekuni Sureq dan mereka massureq terus jika ada kesempatan, seperti diundang “manggung” atau melakukannya atas kesadaran sendiri, melestarikan tradisi.

Baca juga: Untuk Mempertahankan Tradisi Lisan Harus Disokong Anggaran Memadai

Apreasiasi yang tinggi kepada Indo Masse yang telah mewariskannya kepada Indo Wero, dan terutama Indo Wero yang tidak “berhenti di dia”, tapi mewariskannya kepada Rahmadani, warga Generasi Z yang kini masih remaja.

Aksara Bugis diajarkan di Sekolah Budaya Bugis Kabupaten Wajo. Asosiasi Tradisi Lisan Aksara Bugis diajarkan di Sekolah Budaya Bugis Kabupaten Wajo.

Simak lantunan Indo Masse, Indo Wero, dan Rahmadani, dalam bahasa Indonesia ini:

“Di pertiwi merasa tersinggung setiap hari. Menjawablah Sangka Malewa, saya jugalah di bumi. Yang dinamakan awal ke mana, kurencanakan meletakkan tempat di pertiwi. Suami istri di Attawareng berkeinginan anak dewata. Ketajaman, iya memang, jelmaan sang pencipta.

“Orang yang menikmati madu di dalam rasa hatinya penguasa Lappe Tana. Memandang saudaranya beradu kipas keemasan orang Limpo Bonga. Saling bersahutan penyeruh semangat di atas Peterana.”

“Saling bergandengan dan bersaudara, menengadah sembari berkata Muttia Unru. Marilah ke sini guru Ri Selling, naiklah duduk bersama saudaramu."

"Berpaling sembari berkata Sang Pencipta: Begitulah turunnya ke bumi. Susunan bayu sangat sempurna di depannya. Sang Manurung Aji Paewang barangkali yang baik. Diantar turun ke bumi.”

"Menjawablah Sang Penentu Takdir: tidak turun, itu mejelma To Punra Ena. Menghimpun tiga tali. Pada “cerek” yang berangkat lebih dulu. Roddo tinggal di belakang. Rue Ajue kemudian sampailah di depan istana bintang-gemintang."

"Ruuu….. di depannya wahai kalian di istana. Batara Guru kemudian We Nyili Tim. Menginjak tangga keemasan berukir. Terhampar kain panampang soda. Menginjak lantai pelapa kemilau. Lalu melewati sekat tengah.”

Butuh waktu berhari-hari menembang jika ingin memenuhi keingintahuan tentang kisah Batara Guru. Kisah tokoh utamanya, Sawerigading, bahkan belum dibacakan oleh Indo Masse.

Baca juga: Alasan Kisah Cinta Sedarah “I La Galigo” adalah Kisah Klasik GSA

Butuh waktu jauuuuuh lebih lama lagi untuk menuntaskan cerita Lagaligo, yang panjang naskahnya mencapai 6.000 lembar kertas folio atau sebanyak 250.000 kata. Apalagi jika kisahnya dilantunkan lewat Masureq, tidak mungkinlah sekali duduk atau sepeminuman kopi.

Masureq Lagaligo bisa dibilang satu media literasi mengenai asal-usul nenek moyang orang Bugis, tradisi yang sangat tua, bahkan setua usia manusia Bugis itu sendiri, menurut sejarawan Mukhlis PaEni.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com