KUPANG, KOMPAS.com – Orang timur Indonesia atau Melanesia dikenal memiliki senyum yang manis. Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2008-2018, Frans Lebu Raya, mengamini senyum manis memang jadi ciri khas Orang Melanesia, melansir Kompas.com, Senin (23/11/2015).
Sayangnya tak semua Orang Melanesia memiliki kepercayaan diri untuk tersenyum, seperti dua pemuda Kupang yakni Shandry Lakalay (24) dan Victor Rainer Adja (28) yang sejak lahir menderita bibir sumbing.
Jangankan untuk menebar senyum, buat makan saja keduanya kompak mengatakan sulit dan terkadang menyakitkan.
“Sedih, saya juga tidak dapat berkomunikasi dengan baik,” ujar Victor saat Kompas.com temui di Rumah Sakit (RS) St. Carolus Borromeus Kupang, Minggu (15/7/2019).
Akibat bibir sumbing yang dialaminya, suara Victor terdengar sengau, butuh pendengaran tajam saat mendengar ia berbicara.
Baca juga: Cerita Dua Penderita Katarak Bertahan Hidup dalam Keterbatasan
Meski begitu, Victor bercerita dengan penuh semangat, meski kondisi tubuhnya sedang tidak prima akibat hawa dingin yang disertai angin kencang tengah melanda Kupang saat itu.
Sebagai informasi, Oganisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan satu dari 700 bayi baru lahir mengalami bibir sumbing atau disebut langit mulut sumbing
Di Indonesia sendiri terdapat 7.500 per tahun kasus bayi menderita bibir sumbing. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, prevalensi kecacatan pada anak usia (24-29) bulan mencapai 0,53 persen dengan 0,08 persen diantaranya adalah penderita bibir sumbing.
Diwartakan Kompas.com Jumat (28/7/2017), terdapat berbagai penyebab bibir sumbing, di antaranya kekurangan asam folat, vitamin B6, dan zinc selama masa kehamilan.
Selain itu, ibu hamil juga tidak boleh mengonsumsi sembarang obat. Setiap obat yang ditelan harus melalui konsultasi dokter terlebih dahulu.
Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Kupang, Rudi Priyono, menyebutkan penderita bibir sumbing di wilayah kerjanya kerap mengalami masalah kepercayaan diri.
“Ini kan soal estetika, karena itu penderita bibir sumbing di Kupang menjadi tidak percaya diri untuk bersosialisasi,” ujar Rudi.
Ihwal pernyataan Rudi turut diakui oleh Shandry, terlebih saat bercengkrama dengan teman-temannya, ketika itu, ia kerap menjadi bahan olok-olok.
“Saya jadi jarang keluar rumah dan berdiam diri saja di rumah,” ucap dia.
Baca juga: Kisah Painah, Berjualan Jamu Gendong di Usia Senja Agar Bisa Makan
Dalam kesempatan yang sama, Direktur RS St. Carolus Borromeus Dr Herly Soedarmadji menyebutkan Victor dan Shandy hanya segelintir dari 200 warga NTT yang mengalami bibir sumbing.
Penderita urung berobat karena keterbatasan biaya dan letak rumah sakit relatif jauh dari tempat tinggal.
Menurut dia, biaya operasi di NTT membutuhkan biaya minimal Rp 3 juta, tergolong berat bagi penderita berpenghasilan rendah.
“Ada pasien dari Atambua, naik kapal hingga satu malam demi menuju rumah sakit,” ujar Herly.
Namun para penderita bibir sumbing rela menempuh perjalanan jauh demi mendapat layanan operasi gratis.
Maka tak heran, saat PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk hendak kembali melakukan operasi bibir sumbing gratis di St. Carolus Borromeus Kupang, puluhan penderita langsung mendaftarkan diri.
“Dalam 3 bulan, kami mendapatkan 20 orang penderita bibir sumbing peserta program operasi gratis dari Sido Muncul," terang Herly.
Direktur Sido Muncul Irwan Hidayat mengatakan kegiatan ini merupakan yang kedua kali bagi perusahaannya.
Tahun lalu, kegiatan serupa mampu melayani 30 orang pasien atau penderita bibir sumbing.
Irwan berharap penderita mendapatkan hidup normal dan meningkatkan kepercayaan diri untuk bersosialisasi.
Sebagai informasi, Sido Muncul memberikan total bantuan senilai Rp113 juta yang diserahkan langsung secara simbolis oleh Public Relations Sido Muncul Hendrik kepada Herly Soedarmadji selaku Direktur RS St. Carolus Borromeus.
Adapun 20 peserta operasi bibir sumbing tersebut di antaranya adalah Victor dan Shandry.
Kepada Kompas.com, Victor mengaku ingin mencari pekerjaan setelah masalah bibir sumbingnya selesai.
Selama ini, Victor hanya mengisi hari-harinya di rumah dengan kondisinya yang seperti itu.
“Inginnya punya pekerjaan, apa saja asal baik di mata tuhan,” tutup Victor.