Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Manisnya Kue Walangan dari Magetan Tetap Bertahan

Kompas.com - 14/02/2019, 23:50 WIB
Sukoco,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MAGETAN, KOMPAS.com - Minyak goreng di wajan berukuran besar itu terlihat mengepul ketika cairan gula jawa dituangkan ke dalam ubi yang telah di pasrah atau dibentuk kotak memancang seukuran korek api dengan alat seperti parut.

Parmi salah satu pekerja pembuatan kue tradisional walangan di desa Bulugunung, Kabupaten Magetan, Jawa Timur itu terus membolak balik ubi yang terlihat seperti mie tersebut agar campuran gulanya merata. Tak sampai lima menit, ubi yang telah bercampur dengan gula kemudian diangkat untuk ditiriskan.

Pencampuran gula dengan ubi yang telah digoreng merupakan proses terpenting dalam pembuatan walangan carang sari, salah satu kue tradisional yang masih bertahan hingga saat ini di Kabupaten Magetan.

“Takarannya pakai perasaan, adonannya sekian gulanya sekian. Rata rata satu wajan itu gulanya 2 gayung kecil. Kalau segitu manisnya pas,” ujarnya, Rabu (14/02/2019).

Tak sampai semenit ubi mirip mie goreng yang telah berbalut gula merah tersebut langsung dibentuk bulat setengah lingkaran dengan cetakan yang terbuat dari kemasan botol susu. Tangan cekatan para pekerja beradu cepat dengan dinginnya hawa Desa Bulugunung untuk menghabiskan adonan.

Baca juga: Jerih Payah Pembuat Kue dan Batu Bata demi Sediakan Ruang Belajar Anak-anak

 Meski adonan tersebut panas, tangan para pekerja seolah telah kebal.

“Kalau dingin malah susah membentuknya, jadi harus panas panas,” ujar Parmi.

Desa Bulugunung merupakan salah satu desa yang menjadi sentra pembuatan kue walangan sarang sari di Jawa Timur . Di desa tersebut lebih dari 200 keluarga merupakan pengrajin kue sarang sari.

Di rumah pembuatan kue walangan sarang sari milik Suliyah (57), setiap hari mempekerjakan tak kurang dari lima orang untuk memenuhi permintaan pasar. Dalam satu hari, Suliyah yang telah lebih dari 20 tahun menggeluti usaha pembuatan kue walangan mampu menghabiskan ubi lebih dari 2 karung atau 1,5 kwintal lebih.

“Kalau ubinya biasanya ada yang setor atau beli di pasar,” katanya.

Dari dua karung ubi Suliyah mampu membuat empat kardus walangan carang sari atau sekitar 3.500 bungkus setiap hari. Dalam satu bungkus terdapat 10 keping kue walangan sarang sari dengan ukuran sedang. Satu bungkus Suliyah menjual seharga Rp 4.000.

Setiap dua hari sekali sekitar 4 kardus kue walangan sarang sari akan diambil pedagang untuk dipasarkan ke Surabaya dan kota lainnya di Kalimantan.

“Ada pedagang dari Surabaya yang ngambil sendiri ke sini, sudah langgananan. Dia jualnya ke Kalimantan,” kata Suliyah.

Ada kegiatan rutin yang unik setiap pekerja mengganti LPG yang telah habis digunakan untuk menggoreng ubi. Para pekerja dipastikan menuangkan air panas ke dalam ember yang digunakan untuk menyimpan tong LPG tiga kilogram.

Hal tersebut untuk menjaga agar aliran gas LPG tetap lancar dikarenakan sejuknya udara Desa di Bulugunung yang berada di kaki Gunung Lawu membuat LPG sering membeku.

“Kalau tidak dikasih air panas apinya tiba tiba kecil karena LPG nya membeku,” ucap Parmi.

Strategi bertahan di tengah harga bahan baku yang mahal

Selain ke Surabaya, penjualan kue tradisional walangan sarang sari juga merambah ke Bandung dan Jakarta. Pariyem pengrajin kue walangan dari dukuh Buket salah satu dukuh di Desa Bulugunung mengatakkan mampu mengirim 50 hingga 70 kardus atau sekitar 50.000 bungkus setiap dua pekan sekali ke Kota Bandung.

Pariyem lebih memilih mengemas kue dagangannya dengan bulatan agak kecil dan harga perbungkusnya lebih murah yaitu Rp 2.500.

“Kemasan Rp 2.500 perbungkus, ukurannya agak kecil untuk menyiasati pasar biar ada piihan harga,” ujarnya.

Baca juga: Serunya Mahampar Wadai, Festival Kue Tradisional Kotawaringin

Selain melayani permintaan pasar di Kota bandung, Pariyem juga membidik pasar lokal Kabupaten Magetan sendiri dengan membuat kemasan satu bungkus dengan harga Rp 1.000. Kemasan tersebut kebanyakan dijual oleh para pedagang sayur keliling.

Menawarkan berbagai ukuran dalam kemasan walangan carang sari miliknya menurut Pariyem juga merupakan salah satu cara untuk menyiasati harga bahan pokok pembuatan kue walangan yang terus meningkat .

Sejak enam bulan terakhir harga ubi tembus sampai Rp 4.000 dari harga biasanya yang hanya Rp 2.000. Selain ubi, harga minyak goreng yang juga ikut naik membuat pengrajin kue walangan carang sari mencari siasat agar tidak merugi.

“Mau kasih naik harga pembeli tidak mau, akhirnya harga tidak dinaikkan tapi ukurannya lebih kecil dan membuat kemasan dengan harga murah yang kita tawarkan,” ujar Pariyem.

Berbeda dengan Pariyem, Suliyah mengaku memilih resiko mengorbankan keuntungan untuk menjaga pembeli kue walangan miliknya tidak lari.

“Kalau harga ubi mahal sudah resiko, tetap bertahan meskipun kadang harus nombok. Kalau ada untung buat bayar pekerja saja sudah lebih dari cukup.” Katanya.

Suliyah berharap harga ubi yang melambung tinggi segera bisa kembali normal sehingga bisa kembali mengembalikan modal. Keberadan pengrajin kue tradisional walangan carang sari menurutnya juga bermanfaat bagi petani ubi untuk menjaga stabilitas harga ubi.

“Ya kalu mahal artinya untungnya bagi petani ubi. Kita untungnya kalau harga ubi sudah turun,” ucap Suliyah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com