Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"1.000 Alim Ulama di Sumut Berkomitmen Tolak Hoaks..."

Kompas.com - 29/01/2019, 06:30 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Berita palsu dan bohong atau hoaks, saat ini menjadi santapan setiap hari. Masyarakat dan mereka yang malas mencari tahu akan menelan bulat-bulat informasi tak bertanggungjawab tersebut, bahkan dengan cepat menyebarkannya.

Isu agama dan pilihan politik mendominasi, akibatnya, perpecahan antarwarga tak terhindarkan.

Situasi politik saat ini semakin membawa suasana ke arah mengkhawatirkan. Banyak berita miring, bohong dan fitnah bermunculan dan memecah belah sesama, bahkan antar umat beragama.

Persoalan ini menjadi latar belakang diskusi para akademisi, alim ulama, da'i, tuan guru, tokoh-tokoh Islam, dan organisasi masyarakat di Sumatera Utara (Sumut).

Baca juga: Radio Komunitas dalam TMMD, Tampung Curhat Warga hingga Perangi Hoaks

 

Mereka menilai politik identitas pasca Pilkada DKI dan Pilkada Sumut menguat. Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) terjun bebas di tengah-tengah masyarakat.

"Mulai dari presiden sampai tukang becak, pro a dan pro b. Pembelahan juga terjadi di tempat ibadah, di pengajian, ini menjadi keresahan," kata Ketua Jaringan Amar Ma'ruf Sumatera Utara Ikhyar Velayati Harahap, Senin (28/1/2019).

Menurut dia, ustadz dan ustazah yang menjadi pewaris para nabi bertugas untuk merekatkan kembali. Mereka adalah orang yang dianggap masyarakat sebagai orang yang lebih paham untuk memberi penjelasan dan pencerahan.

Namun masalah yang sering terjadi di kalangan ustadz dan ustazah, informasi yang beredar belum terkonfirmasi dan terverifikasi kebenarannya sementara umat butuh jawaban cepat.

Banyak alim ulama yang ragu akan kebenaran kabar yang berkembang memilih diam, namun malah dianggap membenarkan.

Baca juga: Hoaks Pekan Ini, Kapal Tenggelam hingga Luhut Cium Kaki Prabowo

"Bukan persoalan dukung-mendukung tapi harus ada klarifikasi, yang bisa melakukan ini ke masyarakat adalah para ustaz, ustazah dan alim ulama. Mereka menjadi referensi mutlak umat," ucap Ikhyar.

Ustaz dan ustazah bertanggungjawab membuat suasana sejuk di masjid-masjid

Maka digelarlah Seminar Nasional Gerakan Da'i Berkarakter Kebangsaan dengan tema Strategi dan Metode Dakwah Anti Hoaks pada Minggu (27/1/2019) kemarin.

Pesertanya 1.000 alim ulama dari tujuh kabupaten di Sumatera Utara. Tujuannya untuk menyamakan persepsi dan strategi menangkal hoaks di masyarakat.

Para tokoh agama ini diharapkan dapat memberi penjelasan yang benar, baik dalam pandangan agama.

"Bagaimana hoaks dalam pandangan agama, apa landasan teologinya. Juga mendiskusikan strategi dakwah kontemporer lewat digital dan medsos, ustaz dan ustazah harus mengetahui dan menguasai ini," ujarnya.

Baca juga: Polri Tak Tahan Penyebar Hoaks Ijazah Jokowi

Jika para alim ulama tidak menguasai dakwah kontemporer tersebut, maka kedepannya dia hanya akan mempunyai jamaah yang bisa tercerahkan tak lebih dari tiga orang saja. Itupun karena jamaah tersebut tidak punya telepon seluler.

Pasalnya, 20 tahun nanti seluruh konsentrasi adalah media dakwah kontemporer.

"Setelah pertemuan 1.000 alim ulama, kita rencanakan akan ada gerakan 1.000 masjid. Masing-masing ustaz menguasai seribu masjid, menguasai ribuan pengajian. Selama tiga bulan ini, sampai 17 April mendatang mereka berkampanye bagaimana pilpres tidak membuat NKRI pecah, saling hujat. Tidak ada lagi 'cebong kampret'" katanya lantang.

Para ustaz dan ustazah bertanggungjawab membuat suasana sejuk di masjid-masjid. Pihaknya akan mengundang badan masjid dan badan kenaziran untuk mengidentifikasi ustaz-ustaz yang melakukan fitnah, hoaks dalam dakwah dan pengajiannya.

Akan ada perjanjian dan sanksi agar mereka tidak diundang di setiap acara jika terbukti melakukan kesalahan.

Baca juga: 5 Fakta di Balik Perusakan Nisan di Magelang, Waspadai Isu SARA hingga Polisi Terus Buru Pelaku

"Setiap Jumat tema Jumatnya kali ini anti hoaks, Jumat depan pilihlah pemimpin yang Islami, itu standar. Yang Islami itu yang bisa shalat dan baca Quran, kalau tak bisa ini, jangankan jadi pemimpin, jadi suami pun tak bisa.

Intinya, dalam rangka Pilpres 2019 NKRI tetap utuh, NKRI tetap bersatu, kita tetap bersaudara, dan pemimpin baru hadir di depan kita," pungkasnya.

Tuan Guru Batak Ahmad Syahban Al Rahmani Rajagukguk mengatakan, seminar tersebut menunjukkan komitmen ulama-ulama terhadap persoalan yang sedang terjadi pada bangsa Indonesia.

Komitmen para ulama

Tindaklanjut dari forum tersebut adalah solusi untuk menjawab masalah yang sedang berkembang.

"Saat ini ulama dihadapkan dengan ulama, ustaz dengan ustaz, padahal Tuhannya satu, partainya satu. Padahal sejak dulu kita penuh keragaman tapi tetap satu. Kenapa sekarang tidak, gara-gara politik?" tanya dia.

"Takbir itu indah, mempersatukan umat. Tapi saat ini saya nilai ada pergeseran makna, cenderung malah berpotensi membenturkan sesama umat Islam. Ini yang perlu meluruskannya. Persatuan antar umat beragama akan kuat ketika tokoh-tokoh agamanya berprespektif pluralisme. Jangan perbedaan menjadi ajang mencari salah dan perpecahan," tegas Syahban.

Baca juga: Bukan Cuma Isu SARA dan Politik Uang, Ini Daftar Hal yang Dilarang Saat #IkutPemilu2019

Dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan KH Muhyiddin Masyukur pun mengajak seluruh umat tidak terpecah belah hanya karena perbedaan pilihan calon pemimpinnya.

Menurutnya, kedua pasangan calon presiden dan wakilnya sama-sama berlatar belakang Islam. Siapapun yang nantinya menjadi pemenang harus didukung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com