Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lahan Diduduki Warga, Rajawali II Rugi Rp 2,14 Triliun

Kompas.com - 29/11/2018, 18:07 WIB
Windoro Adi,
Heru Margianto

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS – Pendudukan  ribuan hektar lahan milik Pabrik Gula (PG) Jatitujuh di Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat, menyebabkan PT Rajawali II merugi lebih dari Rp 2,14 triliun.

“Angka kerugian tersebut adalah hasil edit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada Juni 2018.  Luas lahan yang diduduki saat itu 5.000 hektar. Tafsiran kerugian dinilai dari lahan dan tanaman tebu yang tak bisa ditanam,” ungkap Kepala Bagian Legal PT Rajawali II, Karpo Budiman Nursi, Kamis (29/11/2018).

Saat ini luas lahan yang diduduki sudah meluas menjadi sekitar 5.000 hektar. Total luas lahan PG Jatitujuh, 11.921 hektar, terdiri dari luas lahan di Majalengka seluas 5.000 hektar, dan luas lahan di Indramayu 6.921 hektar. 

Pada Oktober 2018, masyarakat yang mengokupasi lahan PG Jatitujuh memanfaatkan sebagian lahan untuk menanam pisang, singkong, palawija, dan membuka lahan sawah.

Menurut Karpo, justru setelah tahun 2016 Mahkamah Agung memenangkan perkara sengketa lahan PG Jatitujuh, ribuan warga yang juga berasal dari luar Indramayu dan Majalengka, menduduki lahan PG Jatitujuh.

“Hal ini bisa terjadi karena ada praktek calo tanah,” tegas Karpo.

Sengketa tanah berakhir bentrokan

Penyerobotan tanah berawal tahun 2014 oleh sejumlah warga Desa Sukamulya, Cikedung, Jatisura, Mulyasari, Loyang, dan Amis. Mereka menuntut agar HGU PG Jatitujuh dihutankan kembali.

Jumlah warga yang menduduki lahan kemudian kian bertambah, yaitu dari masing masing 11 desa di Majalengka dan Indramayu.

“Tetapi karena praktik calo dan penipuan, warga lain di luar desa desa penyangga ikut mengokupasi lahan PG Jatitujuh,” ujar Karpo.

Ia mengatakan, sengketa tanah ini sudah berulangkali berakhir dengan bentrokan.

“Saat ini dua perkara sudah sampai meja hijau. Lima warga sudah divonis 1 tahun -1,5 tahun penjara setelah dijerat pasal 406 KUHP tentang pengrusakan, dan pasal 170 tentang pengeroyokan. Salah satu korban pengeroyokan adalah Kabag SDM (sumber daya manusia) kami, Pak Dendi Setiadi,” papar Karpo.

Saat ini, lanjutnya, masih ada 14 laporan polisi yang masih dalam proses.

Ia menjelaskan, lahan yang diokupasi warga tersebut berasal dari lahan kawasan hutan untuk PG Jatitujuh lewat proses tukar guling lahan, tahun 1976.

Tampak atas, areal Pabrik Gula Jatitujuh dan kawasan perkebunan tebu yang membentang dari perbatasan Majalengka hingga Indramayu. KOMPAS/WINDORO ADI Tampak atas, areal Pabrik Gula Jatitujuh dan kawasan perkebunan tebu yang membentang dari perbatasan Majalengka hingga Indramayu.

 

Sebagai gantinya, sesuai PP nomor 10 tahun 2010, PT Rajawali II menyiapkan lahan yang terpencar di 10 kabupaten di Jawa Barat. Tahun 2014, menteri pertanian memerpanjang HGU (hak guna usaha) sampai tahun 2029.

Karena hasutan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), ribuan warga menduduki lahan PG Jatitujuh. Alasannya, itu lahan untuk rakyat dari kementerian kehutanan dan lingkungan hidup.

“Sebenarnya sebelum melakukan langkah hukum, kami sudah beberapa kali melakukan mediasi langsung dengan warga Indramayu dan Majalengka yang tinggal di sekitar lahan PG Jatitujuh, maupun melalui pengurus Nahdlatul Ulama setempat,” ucap Karpo.

Tetapi karena langkah tersebut tidak digubris, PT Rajawali II membawa kasus ini ke meja hijau dan menang.

“Selain itu kami juga sudah melaporkan kasus ini ke tim Saber Pungli Menko Polhukam. Karpo mengatakan, kepada warga, perusahaan sudah menawarkan program kemitraan dalam bentuk penanaman tebu dengan biaya bibit dan perawatan dari PG Jatitujuh, tetapi ditolak.

Karpo mengakui, kasus ini menimbulkan kerawanan sosial, terutama bentrokan.

“Jumlah pekerja kami mencapai 5.000 orang. Jika mereka terus menerus diganggu, bukan hal mustahil satu saat akan terjadi bentrokan,” tegasnya.

Melawan kebangkrutan

Pengamatan Kompas.com, peristiwa ini terjadi di tengah usaha PT Rajawali II menyelamatkan sejumlah PG miliknya dari kebangkrutan.

Saat ini, PT Rajawali II tinggal memiliki tiga PG, yaitu PG Tersana Baru, PG Sindang Laut, PG Subang, dan PG Jatitujuh.

Padahal di tahun 1961, dari hasil nasionalisasi, PT Rajawali II memiliki PG lainnya yaitu, PG Karangsuwung di Kabupaten Cirebon, PG Kadipaten di Majalengka, dan PG Jatiwangi dan PG Gempol di Palimanan. Dari delapan PG, hanya PG Jatitujuh yang diperoleh bukan dari langkah nasionalisasi.

Kini, PT Rajawali II masih menghadapi kesulitan karena impor gula yang berlebihan, serta dan mesin-mesin penggiling tebu yang sudah tua. Padahal semua PG swasta saat ini sudah memanfaatkan mesin mesin penggilingan tebu yang modern.

Mengenai hal ini, Karpo tidak ingin berkomentar. “Saat ini kami fokus menyelamatkan PG Jatitujuh dari penyerobotan tanah,” tandasnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com