Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Diminta Buat Aturan Baru Protokoler Upacara HUT RI di Daerah

Kompas.com - 20/08/2018, 09:10 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Budayawan Jawa Barat, Dedi Mulyadi meminta Presiden Jokowi membuat aturan baru tentang protokoler upacara bendera dalam memperingati proklamasi kemerdekaan RI yang digelar setiap 17 Agustus.

Aturan protokoler yang diubah adalah untuk di daerah dengan mengedepankan kearifan lokal.

Dedi mengatakan, saat ini terjadi perbedaan antara pengelolan tata kelola upacara di Istana Negara (pusat) dengan daerah.

Di Istana, kata Dedi, Presiden Jokowi bisa berinisiatif sendiri mengembangkan aspek-aspek tradisionalisme masuk ke tata upacara, seperti seragam adat kepala negara dan pakaian adat peserta upacara. Lalu inspektur upacara dan pasukan dibuatkan aksesoris tentara kerajaan, masuknya kereta kencana untuk membawa bendera ke areal istana.

"Pikiran itu dari dulu ingin saya kembangkan, tapi daerah terhambat oleh tata protokoler istana yang diatur sekretariat negara," kata mantan bupati Purwakarta dua periode kepada Kompas.com, Senin (20/8/2018).

"Untuk itu, untuk peringatan proklamasi ke depan, segera menteri sekretaris negara membuat aturan baru tentang protokler acara kenegaraan di kota dan kabupaten serta provinsi, sehingga daerah-daerah bisa mengembangkan tata kelola protokoler upacara bendera agustusan dengan membangun kearifan-kearifan budaya," lanjut Dedi.

Dedi menjelaskan, saat ini, dalam acara kenegaraan, misalnya, tata upacara bendera HUT RI, antara di pemerintah pusat dan daerah menjadi berbeda. Pemerintah pusat sudah mengembangkan aspek keindonesiaan dalam tata kelola upacara yang mengembangkan pluralisme dan kebinekaan.

"Namun daerah tidak bisa karena terikat protokoler yang diatur menteri sekretaris negara. Jadi harus disamakan antara pusat dan daerah," katanya.

Baca juga: Mengapa Jokowi Pilih Pakaian Adat Aceh saat Upacara di Istana?

Dedi mencontohkan, upacara agustusan, kepala daerah, anggota DPRD dan seluruh pejabat eselon di kota dan kabupaten harus berpakaian resmi seperti jas dan berdasi. Sedangkan di jakarta, Presiden Jokowi sudah bisa mengenakan baju tradisional.

"Sedangkan baju tradisional yang dipakai pejabat hanya digunakan pada hari jadi. Ini harus segera diubah," tandasnya.

Warisan Order Baru

Dia mengatakan, seragam yang dikembangkan dalam tata protokoler pengelolaan upacara dan kegiatan kenegaraan itu warisan order baru yang dinilai sangat kaku dan semi-militer. Termasuk di dalamnya warisan kolonial belanda.

"Baju yang dipakai bupati, wali kota dan gubernur, yakni baju putih, itu warisan belanda. Segera diubah, baju kebanggaan pemimpin daerah itu adalah baju adat," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.

Bahkan, kata Dedi, tidak ada salahnya nanti pelantikan kepala daerah itu menggunakan seragam adatnya masing-masing. Misalnya, kepala daeerah di Papua, ketika dilantik gubernur Papua, memakai pakaian adat Papua. Begitu juga Aceh.

"Kenapa? Karena pemimpin itu punya dua tugas. Ya pemimpin kenegaraan, dia juga pemimpin kebudayaan," jelas calon anggota DPR RI itu.

Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi. KOMPAS. com/IRWAN NUGRAHA Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi.

Sebagai pemimpin kenegaraan, lanjut Dedi, maka kepala daerah melaksanakan aspek-aspek yang diatur oleh regulasi undang-undang. Sementara sebagai pemimpin kebudayaan, kepala daerah adalah pemimpin khusus pada lingkungan yang harus menjaga kearifan.

"Namun yang terjadi hari ini adalah sentralisme berpikir, sentralisme pakaian dan kebijakan, sehingga terjadi kerusakan di Indonesia secara massif karena perilaku budaya. Karena tidak ada pemahaman kearifan budaya," tandasnya.

Kerusakan dimaksud, misalnya di daerah-daerah, pemimpin dinilai kerap mengeluarkan izin lokasi tanpa memandang dampak yang ditimbulkan pada lingkungan dan sosial.

"Hutan dihajar, gunung pun dihajar, laut pun diuruk, hanya untuk memenuhi aspek-aspek regulasi tapi dirinya bertentangan dengan aspek-aspek lingkungan yang dia pimpin," katanya.

Di lingkungannya, pemimpin harus memimpin alam yang terlihat dan yang tidak terlihat. Alam yang terlihat adalah sesuatu yang kasat mata, sedangkan alam tidak terlihat adalah mikroorganisme yang harus dilindungi.

"Lalu aspek nonmaterial, ada leuluhurnya yang harus dihormati," tandasnya.

Dedi juga mempersoalkan masalah daerah istimewa atau yang diberi otonomi khusus. Dia mengatakan, selama ini yang muncul adalah karakter pemimpin adat itu baru Bali, Yogkayarta, dan Aceh. Ketiga daerah itu dilindungi undang-undang.

Baca juga: Peringati Hari Kemerdekaan, Puluhan Kapal Nelayan Upacara di Laut

Dia mengatakan, semua daerah itu memiliki kearifan budaya, harus dilindungi oleh undang-undang. Caranya adalah mereka diberi ruang untuk tumbuh.

"Jadi pakaian tradisional yang memiliki kearifan budaya itu harus dilindungi oleh undang-undang. Kalau dilindungi undang-undang, bukan hanya persoalan mereka menggunkannya, negara harus membuat regulasi, yaitu kewajiban digunakan oleh pemimpin daerah. Pemimpin daerah itu harus jadi simbol di daerahnya," kata Dedi.

Kompas TV Yohanes mengaku melakukan aksi ini secara spontan, karena melihat tali bendera yang putus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com