Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kuswati, Buruh 'Ngidep' Tuna Daksa di Purbalingga, Sehari Dibayar Rp 4.000

Kompas.com - 01/05/2018, 08:31 WIB
Iqbal Fahmi,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

Kewajiban perusahaan tersebut seharusnya meliputi Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan jaminan sosial.

“Berbeda dengan karyawan reguler yang ada di pabrik, karyawan plasma dan subkontraktor tidak ditarget pekerjaan, sehingga pendapatan mereka juga menyesuaikan,” katanya.

Dilematisnya kondisi para buruh mitra, baik itu plasma maupun subkontraktor di Purbalingga menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasalnya, ada fakta terungkap jika sistem kemitraan yang menjamur di Purbalingga ini tidak memiliki payung hukum yang jelas, sehingga rawan wanprestrasi.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Purbalingga, Supono Adi Warsito.

Kepada Kompas.com, Supono menjelaskan, selama ini dirinya merasa kesulitan untuk mengambil langkah advokasi kepada para buruh mitra.

Hal ini disebabkan, kebanyakan plasma atau subkontraktor yang mereka ikuti tidak berbadan hukum dan bahkan tidak terdaftar di Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT).

Setali tiga uang dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja (HPTK) Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga, Tukimin.

Ia mengatakan, saat ini pihaknya sangat sukar mendeteksi keberadaan plasma dan sub-kontraktor di Purbalingga.

Inilah yang menurut Tukimin menjadi kendala sulitnya memberikan pembinaan tentang kesejahteraan dan jaminan sosial bagi buruh mereka.

“Kadang mereka (plasma) tidak hanya menyuplai kebutuhan pabrik besar, namun juga memasarkan sendiri tanpa brand mark,” ujarnya.

Meski demikian, Tukimin menuturkan, ada dampak positif yang diperoleh dari keberadaan plasma dan subkontraktor dalam pola kerja kemitraan.

Sebab, meski dinilai tidak mengindahkan kesejahteraan buruh, keberadaan mitra cukup membantu untuk menyerap begitu banyak angkatan kerja di Purbalingga.

Analisis Medis

Menilik beban kerja yang dipikul oleh seorang buruh bulu mata palsu, Ketua Paguyuban Kepala Puskesmas (Palapa) eks Karesidenan Banyumas, HS Wahyudi mengungkapkan, para buruh tersebut memiliki kerawanan risiko medis baik itu terhadap badan, mental, maupun sosial.

Banyak hal yang apabila diperhatikan akan berdampak kurang baik terhadap kesehatan, diantaranya:

1. Lokasi kerja dalam hal ini ruangan yang luasnya tidak berimbang dengan jumlah buruh yang ada.

Belum lagi ventilasi yang kurang proporsional akan berpengaruh terhadap jumlah oksigen yang dibutuhkan.

Imbasnya, kebutuhan oksigen tidak tercukupi dan menyebabkan gangguan paru-paru, batuk, sesak nafas, dan pening.

2. Pencahayaan yang kurang akan berisiko terhadap munculnya gangguan mata. Belum lagi otot mata harus diforsir dengan terus menerus berkontraksi karena melihat alat-alat kerja dan bahan yang relatif kecil.

3. Posisi duduk yang terus menerus monoton akan mengakibatkan peredaran darah tidak lancar dan tulang belakang serta otot-otot yang melingkupinya tidak memiliki fase relaksasi. Dampak yang akan dirasakan, yakni nyeri leher, punggung, maupun pinggang.

4. Seringkali buruh menahan buang air kecil saat bekerja, yang akhirnya berisiko terhadap gangguan saluran kencing, salah satunya potensi munculnya batu dalam saluran kemih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com