Merayu itu penting
Demikian pula soal sosok Dilan yang dinilai sebagai tukang gombal karena berbagai rayuannya untuk Milea. Pidi tak habis pikir, padahal hal ini jamak dilakukan lelaki ketika ingin menyenangkan hati pujaannya.
Lagipula menurut Pidi, lebih baiklah seorang lelaki terus berupaya merayu pasangannya daripada melontarkan kemarahan dan makian kepada orang yang katanya dicintainya.
"Orang menyebut dengan itu gombal, tetapi orang marah-marah dengan pacarnya. Mending mana? Lebih baik dengan orang gila, menyenangkan, dibanding dengan orang serius menyebalkan," ungkapnya.
"Mempersoalkan rindu itu berat. Gini, jam 10 (malam) kalau kamu sudah rindu mati kau, karena kalau menelepon yang mengangkat orangtuanya, datang ke rumahnya diusir. Kau butuh matahari menembus rindumu, butuh pagi. Dulu, rindu untuk lunas butuh matahari. Sok gimana? Memang bukan hanya rindu yang berat, masak mau diabsen satu-satu,"
"Aku cuma pengen ngomong sama laki-laki, kalau kamu menyebut Dilan itu gombal, apa yang kamu lakukan pada wanitamu? Apakah cuma serius, kata-kata marah, dan kata cemburu? Mending manis sekalian dibandingkan kata mematikan. Makanya ada tokoh Beni," tuturnya kemudian.
"Puisi Dilan sudah terkumpul, akan aku terbitin. Sudah banyak, di buku sudah banyak, nanti sebagian yang ada di buku itu dan ditambah lagi," ungkapnya.
"Saya tertarik juga meneruskan Ancika Mehrunisa (pacar Dilan kemudian) karena fans Milea garis keras meminta ketika Milea memiliki pacar, kenapa Dilan enggak boleh," tutur Pidi.
Inspirasi dari Dilan dan Milea
Pemikiran pria kelahiran Bandung, 8 Agustus 1972, ini pun menuai kekaguman dari para remaja yang hadir di Mrisi.
Happy Kristi, seorang mahasisiwi kedokteran di Universitas Duta Wacana Yogyakarta, mengaku langsung jatuh cinta kepada sosok Pidi sebagai penulis setelah membaca novel Dilan 1990, Dilan 1991, dan Milea. Dia mengaku terinspirasi dari kisah di novel itu.
"Novelnya menghibur. Kisah remajanya menginspirasi karena biasanya pacaran sekedar pacaran. Tetapi ini ada tujuannya," ucap gadis asal Lampung ini.
Hal senada juga diutarakan Risandi Fitra Mustika Ningrum, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dia mengaku sudah lama mengenal Pidi Baiq meski belum pernah bertemu.
"Belum pernah ketemu, baru pertama kali ini. Biasanya mengikuti di Twitter dan kadang mention dibalas Ayah, kadang tidak. Sudah lama sih kenal novel Ayah. Saya suka karena mudah dipahami, ringan, tetapi mengena," tuturnya.
Mereka sangat senang bisa bertemu Pidi Baiq yang ramah dan mudah berinteraksi dengan fans yang sebagian besar anak muda. Mereka berbaur dan bercerita di teras rumah berbentuk Joglo sampai larut malam.
Dari cara berbicaranya yang ringan, sesekali dibumbui realitas kehidupan dan agama, para remaja yang datang ke Mrisi pun terhanyut dengan setiap cerita dan jawaban dari sosok idolanya itu. Meributkan perkara rindu dan rayuan sampai tak terasa waktu terus bergulir.
Sayang, Ayah Pidi harus segera pulang ke Bandung.