Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meributkan Rindu dan Rayuan dengan Pidi Baiq, Penulis Dilan 1990

Kompas.com - 16/02/2018, 10:54 WIB
Markus Yuwono,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Suasana sore di Dusun Mrisi, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Selasa (13/2/2018) sore, tampak berbeda dari hari biasanya. Di salah satu rumah berbentuk joglo tak jauh dari pabrik gula Madukismo itu, belasan anak muda mengelilingi seorang pria paruh baya.

Mereka tengah asyik mengobrol.

Pria yang menjadi pusat kekaguman para remaja itu adalah Pidi Baiq, sang penulis novel Dilan 1990 yang sedang ramai dibicarakan setelah film dengan judul yang sama ditayangkan di bioskop. Dalam hitungan hari, filmnya sudah ditonton jutaan pasang mata.

Suasana akrab tercipta meski usia mereka terpaut puluhan tahun. Seperti sahabat, mereka berdiskusi dengan seru tentang novel dan film hingga masalah kehidupan saat ini.

Padahal, sebagian besar mereka baru pertama kali bertemu sosok Pidi yang kerap disapa 'Ayah' ini. Selama ini, sosok Pidi hanya ditemui melalui akun Twitter. 

Pidi kebetulan mampir ke Yogyakarta selepas dirinya menghadiri sebuah acara di Solo, Jawa Tengah. 

Ketika Kompas.com tiba di rumah yang rencananya akan dibuat menjadi "Rumah The Panas Dalam Jogja" itu, Pidi menyapa dengan senyuman khas.

Secangkir kopi, air mineral, dan rokok menemani perbincangan, berbumbu kelakar, sepanjang petang. Obrolan ringan, tetapi terkadang menjadi berat, kembali cair karena Pidi kerap melontarkan kelakar ringan dan memberikan kebebasan kepada pada remaja itu untuk bertanya kapan saja.

"Dilan" dan kita

Tiga novel trilogi karya Pidi Baiq, yaitu Dilan 1990, Dilan 1991 dan Milea.KOMPAS.com/Bayu Galih Tiga novel trilogi karya Pidi Baiq, yaitu Dilan 1990, Dilan 1991 dan Milea.
Ayah Pidi pun bercerita awal menulis novel Dilan. Dia mengakui bahwa dirinya diliputi penuh emosi dan pergolakan jiwa saat menulis rangkaian novel Dilan.

"Sampai ke sini (sambil kedua tangannya diangkat di sekitar leher). Anak saya pun sampai bertanya. Kamu tahu (saya) menangis tetapi tidak mengeluarkan air mata. Kalau mau pembaca gitu (menangis), kamu harus begitu," katanya.

(Baca juga:Fajar Bustomi dan Pidi Baiq Siap Garap Dua Lanjutan Film Dilan)

Dia membandingkan emosi yang dirasakannya saat menuliskan novel "Dilan" dan novel "Drunken Monster" yang merupakan kisah kontemporer.

"Dilan itu buku jelek makanya aku jual. Saya menulis buku (Dilan) karena tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Karena tujuan saya ke bumi untuk Jumatan. Sisa waktu itu menulis buku," tuturnya.

"Kalau serial 'Drunken' kan temporer masa kini, masak saya kehilangan akal. Kalau novel 'Dilan' itu saya memiliki akal kembali. Artinya masih ada kompromi dengan norma, kalau 'Drunken Monster' kan banyak menulis keburukanku. Semua membekas, waktu akan membuat saya lupa, tetapi yang saya tulis yang membuat saya ingat," ucapnya. 

Pidi mengakui, banyak pro-kontra terhadap sosok Dilan yang ditulisnya. Misalnya, tentang Dilan yang berani melawan guru dan tidak menggunakan helm saat menggunakan motor.

Sambil tersenyum dengan rokok di tangan, Pidi mengatakan, setting film itu adalah tahun 1990-an. Saat itu, peraturan mengenai penggunaan helm belum ketat seperti sekarang dan praktik kekerasan masih kerap terjadi di sekolah.

"Dilan bukan sosok suci yang pasti akan diikuti. Seperti saat Dilan melawan guru, walaupun kita disadarkan oleh ketika dia ngomong 'Saya tidak melawan guru, Saya melawan Suripto', jangan-jangan guru juga harus introspeksi, siswa juga. Dulu guru main tampar," tutur Pidi.

"Tetapi yang paling penting yang aku katakan, jangan mengadili masa lalu dengan keadaan di masa kini. Kok Dilan enggak pakai helm sih, masak saya harus bilang genk motor harus baik, harus pakai helm SNI. Penggunaan wajib helm baru tahun 2009," tambahnya kemudian.

Lagipula, lanjut Pidi, belajar di dalam hidup tak melulu dari hal-hal baik. Sisi kehidupan yang buruk pun memberi pelajaran bagi setiap insan.

"Makanya ketika orang menentang perilaku Dilan ya pantaslah. Saya pun tidak menokohkan Dilan sebagai orang suci. Banyak hal buruk juga dari Dilan karena pelajaran hidup itu tidak hanya dari hal baik," ucapnya.

Tiga novel trilogi karya Pidi Baiq, yaitu Dilan 1990, Dilan 1991 dan Milea.KOMPAS.com/Bayu Galih Tiga novel trilogi karya Pidi Baiq, yaitu Dilan 1990, Dilan 1991 dan Milea.

Merayu itu penting

Demikian pula soal sosok Dilan yang dinilai sebagai tukang gombal karena berbagai rayuannya untuk Milea. Pidi tak habis pikir, padahal hal ini jamak dilakukan lelaki ketika ingin menyenangkan hati pujaannya.

Lagipula menurut Pidi, lebih baiklah seorang lelaki terus berupaya merayu pasangannya daripada melontarkan kemarahan dan makian kepada orang yang katanya dicintainya.

"Orang menyebut dengan itu gombal, tetapi orang marah-marah dengan pacarnya. Mending mana? Lebih baik dengan orang gila, menyenangkan, dibanding dengan orang serius menyebalkan," ungkapnya.

"Mempersoalkan rindu itu berat. Gini, jam 10 (malam) kalau kamu sudah rindu mati kau, karena kalau menelepon yang mengangkat orangtuanya, datang ke rumahnya diusir. Kau butuh matahari menembus rindumu, butuh pagi. Dulu, rindu untuk lunas butuh matahari. Sok gimana? Memang bukan hanya rindu yang berat, masak mau diabsen satu-satu,"

"Aku cuma pengen ngomong sama laki-laki, kalau kamu menyebut Dilan itu gombal, apa yang kamu lakukan pada wanitamu? Apakah cuma serius, kata-kata marah, dan kata cemburu? Mending manis sekalian dibandingkan kata mematikan. Makanya ada tokoh Beni," tuturnya kemudian.

Penulis novel Dilan 1990, Pidi Baiq.KOMPAS.com/MARKUS YUWONO Penulis novel Dilan 1990, Pidi Baiq.
Sementara itu, Pidi mengatakan, masih akan melanjutkan rangkaian novel Dilan. Salah satunya dengan menerbitkan puisi-puisi Dilan.

"Puisi Dilan sudah terkumpul, akan aku terbitin. Sudah banyak, di buku sudah banyak, nanti sebagian yang ada di buku itu dan ditambah lagi," ungkapnya.

"Saya tertarik juga meneruskan Ancika Mehrunisa (pacar Dilan kemudian) karena fans Milea garis keras meminta ketika Milea memiliki pacar, kenapa Dilan enggak boleh," tutur Pidi.

Inspirasi dari Dilan dan Milea

Pemikiran pria kelahiran Bandung, 8 Agustus 1972, ini pun menuai kekaguman dari para remaja yang hadir di Mrisi.

Happy Kristi, seorang mahasisiwi kedokteran di Universitas Duta Wacana Yogyakarta, mengaku langsung jatuh cinta kepada sosok Pidi sebagai penulis setelah membaca novel Dilan 1990, Dilan 1991, dan Milea. Dia mengaku terinspirasi dari kisah di novel itu.

"Novelnya menghibur. Kisah remajanya menginspirasi karena biasanya pacaran sekedar pacaran. Tetapi ini ada tujuannya," ucap gadis asal Lampung ini.

Hal senada juga diutarakan Risandi Fitra Mustika Ningrum, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dia mengaku sudah lama mengenal Pidi Baiq meski belum pernah bertemu.

"Belum pernah ketemu, baru pertama kali ini. Biasanya mengikuti di Twitter dan kadang mention dibalas Ayah, kadang tidak. Sudah lama sih kenal novel Ayah. Saya suka karena mudah dipahami, ringan, tetapi mengena," tuturnya. 

Mereka sangat senang bisa bertemu Pidi Baiq yang ramah dan mudah berinteraksi dengan fans yang sebagian besar anak muda. Mereka berbaur dan bercerita di teras rumah berbentuk Joglo sampai larut malam.

Dari cara berbicaranya yang ringan, sesekali dibumbui realitas kehidupan dan agama, para remaja yang datang ke Mrisi pun terhanyut dengan setiap cerita dan jawaban dari sosok idolanya itu. Meributkan perkara rindu dan rayuan sampai tak terasa waktu terus bergulir.

Sayang, Ayah Pidi harus segera pulang ke Bandung.

 

 

Kompas TV Keluar dari sekolah dasar karena kerap diejek oleh temanya tidak menjadikan gadis tunagrahita dari Pekalongan, Jawa Tengah ini putus asa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com