Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tapak Tilas Jejak Dakwah Pangeran Diponegoro di Masjid Langgar Agung Menoreh

Kompas.com - 13/06/2017, 12:08 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Masjid Langgar Agung menjadi saksi bisu perjuangan pahlawan nasional Pangeran Diponegoro melawan kejinya penjajah Belanda seratusan tahun silam.

Masjid yang terletak di kaki perbukitan Menoreh, tepatnya di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Masyarakat sekitar masih memanfaatkan masjid tersebut untuk beribadah. Selain itu, masjid ini juga menjadi pusat kegiatan keagamaan sebuah sekolah dan Pondok Pesantren Nurul Falah yang terletak persis di depannya.

Baca juga: Tentukan Waktu, Warga Menoreh Masih Pakai Jam Matahari Tradisional

KH Ahmad Nur Shodiq, salah satu pengurus masjid Langgar Agung sekaligus pengasuh Ponpes Nurul Falah menuturkan, berdasarkan sumber lisan yang diterimanya di dalam masjid ini terdapat tempat Pangeran Diponegoro melakukan mujahadah, zikir dan berdakwah kepada masyarakat sekitar.

Di tempat yang kini menjadi tempat pengimaman masjid itu dahulu juga merupakan lokasi persembunyian Pangeran Diponegoro dari kejaran pasukan penjajah Belanda.

Di sini pula lah ia mengaktur strategi perang melawan Belanda, tahun 1825-1830 silam.

"Dari cerita orangtua saya, bentuk masjid tidak seperti ini, namun hanya berupa bangunan bambu kecil berukuran sekitar 4 meter. Beliau (Pangeran Diponegoro) bersembunyi di sini saat dikejar-kejar Belanda. Beliau juga melakukan wirid di sini," kisah Shodiq, saat Kompas.com berkunjung ke masjid tersebut, belum lama ini.

Saat Pangeran Diponegoro bersembunyi di tempat itu, lanjut Shodiq, para pasukannya bersembunyi dan menggelar latihan militer di gua-gua yang ada sekitar perbukitan Menoreh. Sebelum tahun 1980-an, puing-puing bekas petilasan Pangeran Diponegoro dan pasukannya masih dapat dijumpai. Namun sekarang sudah hilang.

"Belanda itu licik, mereka bisa mengeluarkan beliau (dari persembunyiannya) setelah dibujuk oleh saudaranya sendiri yang sebelumnya telah disogok dengan harta dan jabatan. Pangeran Diponegoro lantas dibuang ke Makassar hingga meninggal dunia di sana," papar Shodiq.

Sekitar tahun 1946, pemerintah setempat dibantu ABRI (sekarang TNI) memprakarsai pembangunan monumen tersebut untuk menghormati jasa Pangeran Diponegoro.

Semula petilasan itu akan dibangun monumen atau patung Pangeran Diponegoro, namun kemudian disepakati dibanguan mushala atau masjid secara permanen.

"Masyarakat saat itu meminta dibuat tempat ibadah seperti ketika digunakan Pangeran Diponegoro," ucapnya.

Pembangunan masjid sempat terhenti akibat peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965. Beberapa tahun kemudian pembangunan dilanjutkan hingga selesai sekitar tahun 1972.

Pondasi masjid dengan pengimaman berada di atas tatanan batu yang didirikan oleh Pangeran Diponegoro.

"Tahun 1972, takmir pertama H Fathoni yang memberi nama masjid ini dengan 'Langgar Agung'," katanya.

Bangunan masjid seluas sekitar 8x18 persegi itu termasuk unik karena mirip dengan bangunan gereja pada umumnya dengan dominasi gaya Belanda.

Dari enam kubah yang ada, empat di antaranya kecil mirip kubah Gereja Bledug Semarang. Namun kubah utama dan kubah kecil di atas menara setinggi sekitar 25 meter mengadopsi kubah Masjid Nabawi di Makkah, Arab Saudi.

Masjid ini termasuk istimewa karena menyimpan mushaf Al Quran yang konon ditulis tangan oleh Pangeran Diponegoro. Di pagar depan masjid terdapat jam bencet, atau jam tradisional yang mengandalkan sinar matahari sebagai penanda waktu.

"Sampai sekarang, masjid ini belum pernah dipugar, karena memang ada aturan siapapun tidak boleh mengubah apapun bentuknya. Kami hanya merawatnya saja, membersihkan setiap hari, mengecat ulang dan sebagainya," ungkapnya.

Baca juga: Tiruan Jubah Pangeran Diponegoro Akan Dibuat

Walau begitu, Shodiq tidak menampik bahwa perawatan masjid bersejarah ini tergolong sulit dan mahal. Sebab, sebagian besar bahan-bahan bangunan masjid sudah berusia lawas sehingga membutuhkan perawatan khusus. Apalagi, untuk biaya perawatan, pihaknya hanya mengandalkan sumbangan para jemaah dan donatur.

"Sejauh ini belum ada anggaran dari pemerintah khusus untuk perawatan, misalnya kebutuhan air, listrik, kebersihan, semua dari jemaah maupun donatur. Sekarang kami sedang buat kanopi agar masjid mampu menampung jemaah lebih banyak, itu pun kami harus mengajukan proposal ke pemerintah daerah," ungkapnya.

Kompas TV Desa Semantin, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang dikenal sebagai centra penghasil kolang kaling.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com