Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Nestapa di Jalur Lama Pantura Jabar

Kompas.com - 21/02/2017, 18:48 WIB

KOMPAS.com - Jalur arteri di sejumlah daerah di Jawa Barat menanti perhatian. Jika dulu menjadi ladang untuk memanen rupiah, jalur-jalur itu kini melahirkan nestapa.

Sudah sebulan terakhir antrean panjang truk dan bus yang terjebak kemacetan menjadi pemandangan di depan rumah Ujang (38), warga Desa Sukatani, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Jabar. Asap solar, debu beterbangan, dan panas mesin kendaraan membuatnya tak nyaman. "Kemacetan ini sangat mengganggu. Di mana-mana macet, susah mau ke mana-mana," ujarnya, pertengahan Februari lalu.

Kerusakan Jembatan Cisomang, salah satu jembatan di Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), jadi penyebabnya. Dalam masa perbaikan, truk dan bus besar dilarang melintasi Cisomang.

Kondisi ini membuat jalan arteri Purwakarta menanggung beban berat, menampung semua truk dan bus berbobot besar tujuan Bandung-Jakarta dan sebaliknya. Kemacetan hingga 10 kilometer kerap terjadi di sebagian jalan arteri Purwakarta.

"Kondisi ini pernah terjadi sekitar 12 tahun lalu. Bedanya dulu jadi anugerah. Banyak mobil pribadi singgah di kios makan warga pinggir jalan. Sekarang, bus dan truk seperti tak sabar buru-buru ingin keluar dari kondisi ini," katanya.

Ujang pernah merasakan nikmat kemacetan di depan rumahnya. Ia melanjutkan usaha kios peuyeum, makanan khas Sunda berbahan singkong, dan keramik dari mertuanya sejak 1990-an. Sehari, ia bisa menjual 3-4 kuintal peuyeum. Dengan harga Rp 1.000 per kilogram, omzet mencapai Rp 400.000 per hari.

"Omzetnya bahkan berpotensi semakin besar saat jalanan semakin macet dan ramai. Ini jadi akses utama satu-satunya Jakarta-Bandung atau sebaliknya," katanya.

Akan tetapi, masa indah itu tinggal kenangan memasuki tahun 2005 saat Tol Cipularang dibangun. Pengguna jalan memilih jalan bebas hambatan ketimbang penuh kelokan tak karuan. Usaha peuyeum dan keramiknya bangkrut. Warna keramik yang tersisa mulai kusam tertutup debu. "Tahun 2005 adalah akhir dari nikmat yang saya dan keluarga rasakan."

Kini, Ujang bertahan hidup dari usaha warung kecil di bekas tempat usahanya dulu. Menjual makanan ringan dalam kemasan, omzetnya kini hanya Rp 30.000-Rp 40.000 per hari. Meski pendapatannya jauh berkurang, Ujang tetap bertahan di jalur itu. Ia belum tahu akan hidup seperti apa jika meninggalkan rumah tempat ia dilahirkan itu.

"Hidup sudah terlalu berat untuk kami sekarang. Berpisah dengan teman dan kehilangan penghasilan," katanya.

Tidak hanya warga yang mengeluh. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi juga geram. Dalam sehari, kini ratusan truk bermuatan lebih dari 40 ton melintasi jalan dan jembatan arteri di Purwakarta. Apabila terus dibiarkan, Dedi khawatir hal itu akan merusak jalan dan jembatan.

Ia mengambil contoh kondisi Jembatan Ciganea di Kecamatan Jatiluhur dan Jembatan Cilalawi di Kecamatan Sukatani. Keduanya kini rusak dihantam kemacetan panjang akibat rusaknya Jembatan Cisomang.

"Banyak masyarakat Purwakarta bergantung pada keberadaan dua jembatan. Kalau rusak, aktivitas warga Purwakarta akan sangat terhambat," katanya.

Dedi meminta PT Jasa Marga membuka pintu tol di Km 99, kawasan Sawit, Kecamatan Darangdan, Purwakarta.

Namun, Senior Officer Public Relations PT Jasa Marga Cabang Purbaleunyi Dadan Sarifudin menyatakan, permintaan itu belum bisa dipenuhi. Pintu tol di Km 99 dibangun sebagai jalur alternatif jika perbaikan Jembatan Cisomang masih berlanjut atau Km 100 harus ditutup.

Menuju suram

Cerita pilu di jalur arteri juga terjadi di pantura Jabar. Jalur ini sempat mengalami masa jaya, tetapi keberadaan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) membuat bisnis Raden Hidayat (38) dan istrinya, Tumi (30), suram. Omzet Rp 500.000 per hari yang biasanya mudah didapat sebelum Cipali dibangun tak lagi dirasakan. "Sekitar 15 rekan saya sudah pindah ke Brebes. Di sini semakin sepi," ujar Raden di kios berdebu miliknya di Jalan Raya Palimanan, Cirebon.

Minim perhatian, jalan yang pernah jadi urat nadi nasional itu juga rusak. Lubang menganga 10 sentimeter hingga 1,5 meter siap menerkam siapa saja. Hatinya miris karena makin kerap melihat kecelakaan lalu lintas. "Bukan untung yang diraih, melainkan jadi saksi mata banyak kecelakaan. Hampir setiap hari terjadi," kata Tumi.

Turunnya pendapatan pedagang di pantura terekam oleh hasil survei Optima Solusi Indonesia dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon. Survei itu menemukan omzet sektor perdagangan, tempat makan, dan hotel di jalur pantura turun hingga 50 persen sejak beroperasinya Tol Cipali.

Sebanyak 70 persen respon- den berpendapat, hal itu disebabkan penurunan jumlah kendaraan yang melintasi pantura. Survei dilakukan dengan metode wawancara terhadap 450 responden selama tiga bulan pada akhir 2015.

Polres Indramayu, misalnya, mencatat sedikitnya tujuh kecelakaan lalu lintas karena jalan berlubang dan korbannya meninggal di tempat. Jalur pantura pun seperti diabaikan karena munculnya jalur baru, Jalan Tol Cipali.

"Pantura tetap penting, apalagi untuk truk. Namun, mekanisme perbaikan jalan saat ini berbeda. Perbaikan jalan butuh penyelesaian proses lelang pengerjaan jalan," ujar Pejabat Pembuat Komitmen Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muhamad Nurul. (TAM/BKY/SEM/IKI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2017, di halaman 1 dengan judul "Cerita Nestapa di Jalur Lama Pantura Jabar".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com