Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menabur Benih-benih Toleransi

Kompas.com - 19/02/2017, 14:04 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Gereja Kota Baru Yogyakarta tampak berbeda dari biasanya. Sabtu (18/2/2017) sekitar pukul 09.00 WIB, belasan murid dari Lembaga Pendidikan Beniso, Sewon, Bantul, bersama guru dan kepala sekolah mengunjungi gereja di pusat Kota Yogyakarta itu.

Romo Paroki Kota Baru Maharsono Probho SJ dengan ramah menyambut kedatangan tamu-tamu kecilnya. Maharsono kemudian memandu perjalanan mereka berkeliling gereja.

Para murid taman kanak-kanak ini tampak mengamati dengan penuh penasaran setiap detail ruangan dan benda-benda serta gambar di dalam gereja.

Para guru ikut mendampingi sambil menggandeng tangan anak-anak tersebut. Sesekali mereka harus mengingatkan agar para siswa merapikan barisannya.

Sambil berjalan, Maharsono menjelaskan dengan bahasa ala anak-anak tentang apa saja yang di dalam gereja, mulai dari patung-patung, lilin, bunga, hingga lukisan jalan salib yang mengelilingi gereja dan altar.

Saat istirahat, Kepala Lembaga Pendidikan Beniso Novi Eviani bertanya kepada murid-muridnya. "Apa sebutan bagi pemuka agama Katolik?" tanya Novi Eviani. "Romo, Ibu Guru," para murid menjawab serentak.

Novi kembali bertanya tentang nama tempat ibadah umat Katolik dan dijawab dengan benar oleh para bocah.

"Anak-anak, di sekitar kita ada banyak perbedaan. Tetapi ingat, kita harus saling menghormati dan harus selalu sayang kepada mereka," pesan Novi kepada mereka.

Maharsono memberikan kenang-kenangan kepada para murid dan guru berupa pembatas buku. Pembatas buku itu bergambar seluruh pemuka agama dan bertuliskan, "Kebersamaan itu Indah dan Melebihi Apa Pun". Di sebaliknya, terdapat tulisan "Kasih itu sabar, kasih tidak sombong, kasih itu murah hati".

Para murid beranjak pergi, tetapi bukan untuk pulang. Mereka melanjutkan perjalanan ke tempat ibadah lain, yakni Kelenteng Poncowinatan di daerah Kranggan, Kota Yogyakarta.

Mereka dikenalkan tentang seluk-beluk kelenteng, para umatnya, sampai dengan nama dewa-dewa di kelenteng. Dari sana, rombongan anak-anak itu melanjutkan wisata edukasi tersebut dengan mengunjungi Masjid Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Dalam satu hari ini, kita ke Gereja Kota Baru, lalu ke Kelenteng Poncowinatan dan Masjid UGM," kata Novi.

Kunjungan ke tempat ibadah ini merupakan puncak acara dengan tema toleransi. Para siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang toleransi dan kebinekaan di dalam kelas, tetapi juga diajak melihat secara langsung tempat-tempat ibadah dari berbagai agama.

"Sudah kita laksanakan sejak dulu, ini kegiatan puncaknya. Jadi agar anak melihat langsung dan mengenal tempat-tempat ibadah," kata Novi.

Ia menuturkan, sikap toleransi sudah seharusnya diberikan sejak usia dini. Di usia anak-anak, pikiran mereka masih jernih dan harus mendapat masukan tentang hal-hal positif.

"Anak-anak itu kan masih murni, kalau tidak dijejali dengan hal-hal yang negatif , mereka itu akan selalu menerima kebersamaan dan perbedaan. Tinggal bagaimana kita mendidik mereka," ujar Novi.

Diungkapkanya pada kenyataanya dalam kehidupan perbedaan itu memang ada. Karenanya, anak-anak perlu mengenal. Hingga akhirnya muncul sifat dan sikap untuk menghargai dan memahami bahwa sebenarnya perbedaan itu indah.

"Perbedaan itu indah, itulah yang ingin kita tanamkan. Negara ini kan Bhinneka Tunggal Ika, kita harus menerima dan merawatnya," pesan Novi.

Maharsono mengatakan, para guru mengunjungi tempat ibadah umat Katolik untuk mengajak anak-anak sejak dini belajar tentang keberagaman budaya dan agama.

"Untuk Gereja Katolik, mereka ke sini (Gereja Kota Baru). Satu setengah bulan yang lalu, dari SD Ungaran juga ke sini, kemarin SD Budi Mulia 2, lalu TK Beniso, Mereka ke gereja, lalu ke wihara, pura, dan masjid," kata dia.

Maharsono menilai bahwa mengenalkan siswa tentang kebinekaan sejak dini merupakan suatu satu hal yang sangat baik. Kegiatan ini berguna bagi perkembangan anak-anak.

"Model-model seperti ini terus berkembang. Sekolah-sekolah Katolik pun melakukan hal yang sama," ujarnya.

Anak harus diajar tentang pentingnya kejujuran, cinta damai dan toleransi serta kebinekaan. Sekolah sebagai tempat pendidikan telah memiliki kesadaran bersama untuk mengajarkan hal itu sejak sedini mungkin.

Hal itu menumbuhkan kesadaran bersama di sekolah dalam merawat kebinekaan. Ia menuturkan, dalam kunjungan ke gereja, anak-anak sangat responsif dan terbuka. Mereka tidak canggung, aktif bertanya tentang apa yang dilihat secara langsung ataupun apa yang mereka belum tahu.

Mereka antara lain bertanya mengapa di gereja ada patung dan lilin. Ada pula yang menanyakan perbedaan Katoluk dan Kristen.

"Ada juga yang bertanya, Romo yang disalib itu siapa? Maria itu siapa? Pertanyaan sangat cair, spontan dan alamiah, tentu saya terangkan dengan bahasa anak-anak agar mereka paham," ujarnya.

Menurut Maharsono, mengajak anak-anak ke berbagai tempat ibadah ini sangat penting. Perjumpaan menjadikan satu sama lain bisa saling mengenal, saling memahami dan saling menghormati.

"Sekolah sudah menabur benih toleransi dan benih ini akan dapat dirasakan beberapa tahun kemudian," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com