Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung Peunayong, Keberagaman dan Kerukunan ala Aceh

Kompas.com - 27/01/2017, 19:00 WIB
Adrian Fajriansyah

Penulis

Pada abad ke-16, Kerajaan Aceh Darussalam yang diperintah Sultan Iskandar Muda (1607-1636) membuat perkampungan sejumlah bangsa asing, termasuk kampung Tionghoa. Pendatang asal Tiongkok dikenal ulet berdagang. Perkampungannya pun cepat menjadi pusat niaga yang ramai.

Karena kondusif, perkampungan itu tak hanya dihuni warga Tionghoa, tetapi juga warga lain, termasuk asli Aceh. Perkampungan itu diperkirakan adalah Peunayong saat ini.

Hingga kini, menurut Yuswar, hampir tidak ada konflik antara warga Tionghoa dan warga setempat. "Pada 1966 memang sempat ada pengusiran warga Tionghoa di Aceh, tetapi itu dipicu gejolak politik nasional," ujarnya.

Dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, menuturkan, harmonisasi itu terwujud karena warga Tionghoa di Aceh (sekitar 7.500 orang) pintar membawa diri. Mereka tidak agresif atau menonjolkan diri dalam bergaul dan menjalankan ritual agama.

Bahkan, sekalipun Pemerintah Aceh tidak memaksa warga non-Muslim mengikuti syariat Islam, warga keturunan tetap berpakaian menutup aurat. "Orang Aceh sangat terbuka dengan pendatang. Namun, sikap mereka akan keras jika pendatang itu agresif," ucapnya.

Di sisi lain, Fasya melanjutkan, terjalin hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara warga keturunan dan Aceh tulen. Warga keturunan mendominasi perniagaan, sedangkan warga Aceh menjadi konsumen dan bekerja pada usaha-usaha mereka.

Agar harmonisasi kehidupan antara warga Tionghoa dan asli Aceh terjaga, komunitas warga Tionghoa melalui Yayasan Hakka Aceh mendeklarasikan Kampung Peunayong sebagai "Kampung Keberagaman" pertama di Aceh. Kampung itu dideklarasikan pada 2015, bertepatan dengan perayaan Imlek 2566.

Aky mengutarakan, keberadaan Kampung Keberagaman itu diharapkan menjadi pengingat bahwa perbedaan merupakan hakikat hidup di Aceh dan Indonesia. "Kampung ini pun diharapkan menjadi contoh untuk daerah lain," ujarnya.

Lewat deklarasi itu, komunitas warga Tionghoa di sana rutin melaksanakan kegiatan seni asli Tionghoa yang dipadu dengan seni asli Aceh. Hal itu tampak dari atraksi barongsai yang dimainkan bersama seudati, tari tradisional Aceh.

Pelaksana Tugas Wali Kota Banda Aceh Hasanuddin Ishak menyampaikan, stabilitas keamanan merupakan bagian penting untuk membangun daerah, salah satunya menjaga kerukunan antarpenduduk yang berbeda etnis, suku, dan agama.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Januari 2017, di halaman 1 dengan judul "Keberagaman dan Kerukunan ala Aceh".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com