Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melestarikan Rumah Baghi Pasemah

Kompas.com - 21/01/2017, 16:02 WIB

Tim Redaksi

KOMPAS - Datang ke Desa Bangke, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, seakan menemukan dimensi berbeda dari kehidupan masa kini. Jejeran rumah tradisional yang disebut baghi menyajikan gambaran peradaban budaya Pasemah yang telah ada di desa itu sejak ratusan tahun lalu.

Desa Bangke berada sekitar 62 kilometer dari kota Lahat. Akses menuju desa itu sebagian besar adalah jalan aspal. Sebelum memasuki Desa Bangke, Desa Bintuhan akan terlebih dahulu dilewati. Di desa ini, rumah warga tergolong modern, dibangun layaknya rumah masa kini dengan dinding batu bata dilapisi semen.

Namun, saat memasuki Desa Bangke, nuansa berbeda langsung terasa. Hampir semua rumah warga merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Bahkan, 13 di antaranya adalah rumah baghi yang berarti rumah kuno dari suku Pasemah.

Warga setempat, Elvis Haryono, 6 November lalu, menjelaskan, tradisi membangun rumah baghi ada sejak zaman dahulu. Bahkan, rumah baghi tertua di desa ini diperkirakan berusia 300 tahun dan masih kokoh berdiri. Kekuatan bangunan itu terletak pada kayu berkualitas yang menjadi bahan dasar pembuatan rumah baghi.

Rumah baghi terdiri dari beberapa jenis kayu yang diambil dari hutan sekitar desa, seperti kayu entenam yang digunakan sebagai dinding, lantai, dan kayu untuk ukiran. Puyang (nenek moyang) suku Pasemah menggunakan kayu ini karena dinilai sangat kuat dan berkualitas.

Atap rumah baghi terbuat dari kayu gelemar dan kusen pintu terbuat dari kayu cemaghe atau kayu medang derian. Genting rumah terbuat dari kayu merambung (sirap) yang dianggap lebih tahan panas dan hujan. Kayu-kayu inilah yang menjadikan rumah baghi tetap kuat hingga kini.

"Dulu, puyang mengambil kayu dari hutan di sekitar perbukitan di desa. Namun, kini kayu itu sudah sulit ditemukan," ujar Elvis.

Ada dua jenis rumah baghi, yang berukir dinamakan tatahan dan yang tidak berukir dinamakan gilapan. Jurei tue (sesepuh) Desa Bangke, Barlin, mengatakan, untuk membangun satu rumah baghi dibutuhkan waktu sekitar lima tahun. Itu karena pembangunan rumah termasuk sulit. Rumah baghi tidak menggunakan paku karena dirancang dengan sistem saling mengait satu sama lain.

Bagian terunik adalah saat membuat ukiran yang menjadi ciri khas rumah baghi. Pada tahap ini, setiap satu balok kayu rampung dipahat, pemilik rumah harus memotong seekor ayam. "Ini menjadi penghormatan kepada nenek moyang," kata Barlin. Pembuatan ukiran memakan waktu lama karena satu rangkaian ukiran pada balok kayu membutuhkan waktu hingga tiga bulan.

Ukiran yang dipahat pada rumah baghi biasanya bermotif bunga, seperti bunga matahari dan teratai. Motif lain berupa rangkaian lingkaran (bubulan). "Setiap rumah memiliki motif yang berbeda sesuai dengan keinginan pemilik," ujarnya.

Siapa pun yang dianggap mampu pada zaman itu boleh membuat ukiran "Ukiran dibuat oleh seniman pengukir yang memang memiliki kemampuan di bidang itu," ujar Barlin. Biasanya, biaya ukiran sepertiga dari harga rumah.

Dalam motif ukiran terkandung sejumlah falsafah penting, yakni terkandung doa dan harapan sang pemilik rumah agar selalu diberikan rezeki. Dalam motif itu juga terkandung makna persatuan dan gotong royong.

Ciri unik lainnya terletak pada daun pintu dan lantai. Daun pintu rumah baghi terbuat dari satu keping kayu dengan engsel berupa sumbu yang terletak pada bagian atas dan bawahnya.

"Biasanya, saat dibuka atau ditutup, ada bunyi khas. Itu menjadi tanda panggilan bagi pemilik rumah layaknya bel," kata Barlin.

Bagian dalam rumah baghi dibuat tanpa sekat dengan lantai bambu. Namun, ada bagian dalam rumah yang lantainya dibuat berjenjang. Bagian tertinggi untuk jurei tue, satu tingkat dibawahnya untuk pangeran tue dan pangeran mude, demikian seterusnya sesuai strata masyarakat Pasemah. Jenjang terbawah ditempati cincingan, cerite layang, dan rabu samad.

Saat ini, bagian lantai berjenjang tersebut hanya digunakan saat dilakukan upacara penjemputan pusaka yang biasanya dilakukan empat tahun sekali. "Biasanya jika jurei tue memiliki firasat untuk menjemput pusaka, baru upacara penjemputan pusaka itu dilakukan," ucapnya.

Filosofi

Barlin mengatakan, rumah baghi memiliki beragam filosofi. Rumah ini dibangun tanpa sekat. Tujuannya adalah untuk memelihara kebersamaan dari setiap anggota keluarga. Bahkan, dulu, orang lain yang tidak memiliki hubungan darah dengan pemilik rumah dilarang masuk ke ruang utama. "Hal ini dimaksudkan kebersamaan dengan keluarga inti dapat tetap terjaga," katanya.

Barlin menerangkan, semua rumah baghi dibuat dengan skema rumah panggung dengan ketinggian dari permukaan tanah sekitar 2 meter. Tujuannya adalah untuk menghindari binatang buas yang dulu masih berkeliaran dan sebagai tempat untuk menyimpan kayu bakar.

Kepala Desa Bangke Gunawan mengatakan, rumah baghi di desanya masih dilestarikan karena sebagian besar warganya adalah suku Pasemah. Ada 155 keluarga yang terdiri dari 561 warga di desanya. "Sebanyak 90 persen dari warga merupakan suku Pasemah dan sisanya dari Jawa," katanya.

Meskipun begitu, jumlah rumah baghi terus berkurang. Sekitar 40 tahun lalu, ada sekitar 20 rumah baghi di Desa Bangke, tetapi kini tinggal 13 rumah. Banyak pemilik menjual rumah baghinya karena permintaan wisatawan dan pemerintah, serta menukarnya dengan bangunan modern. Alasan lain lantaran kondisi rumah yang sudah rusak karena pemilik tidak bisa merawatnya. Bahkan, beberapa rumah baghi ditinggalkan pemiliknya dan dibiarkan berdebu dan kayunya dibiarkan dimakan rayap.

Belum lagi keberadaan sejumlah jenis kayu yang sudah semakin berkurang dan sulit diperoleh, serta habisnya kemampuan pengukir karena tidak adanya regenerasi. "Kalau rumah ini tidak dijaga, dikhawatirkan keberadaan rumah baghi akan hilang," ujar Gunawan.

Pemerhati kebudayaan Pasemah, Mario Andramartik, mengatakan, saat ini keberadaan rumah baghi sangat jarang. Di Lahat hanya ada di tiga desa, itu pun jumlahnya tak lebih dari 13 unit. Rumah baghi juga terdapat di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Muara Enim.

Mario berharap Pemerintah Kota Lahat segera mengajukan rumah ini sebagai bangunan cagar budaya. Tujuannya agar ada jaminan perlindungan pada bangunan yang hampir punah ini. "Selain dijaga oleh pemerintah, pemilik pun dapat dibantu untuk memelihara rumah baghi," ucapnya.

Langkah ini perlu dilakukan segera karena, jika tidak, dikhawatirkan rumah baghi akan hilang. "Jika rumah baghi hilang, tentu bagi generasi selanjutnya rumah Pasemah ini hanya tinggal kenangan," ujarnya.

Barlin mengatakan, menjaga kelestarian rumah baghi sama halnya tetap mengingat nenek moyang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Januari 2017, di halaman 22 dengan judul "Melestarikan Rumah Baghi Pasemah".

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com