PANGKALPINANG, KOMPAS.com - Di Kota Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, terdapat pemakaman khusus orang-orang Belanda (kerkhof). Dari sekian banyak nisan bernama Belanda, yang menarik adalah keberadaan 10 makam perempuan Jepang.
Pada zaman sebelum kemerdekaan RI, orang-orang Belanda adalah warga kelas satu yang sangat dihormati. Masuknya wanita Jepang dalam kelompok sosial tertinggi kala itu tentu menjadi tanda tanya.
Sejarawan Pangkal Pinang, Akhmad Elvian, menjelaskan terkait hal tersebut. Menurut dia, berdasarkan catatan arsip, secara garis besar diketahui wanita-wanita Jepang yang datang ke Tanah Air pada abad ke-19 Masehi merupakan para pekerja tempat hiburan.
Akhmad mengatakan, para wanita Jepang itu pada umumnya didatangkan dari daerah bagian selatan Jepang yang merupakan daerah miskin dengan kondisi alam yang keras.
Daerah itu cenderung mengandalkan hasil laut dan nyaris tak tak bisa digunakan untuk bercocok tanam.
"Kondisi demikian membuat warga bagian selatan Jepang banyak yang pergi merantau, termasuk para wanitanya yang tiba hingga ke Tanah Air,” kata Akhmad kepada Kompas.com, Sabtu (21/1/2017).
Sejumlah sumber menyebutkan, kehadiran wanita Jepang selain sebagai pekerja hiburan juga berperan sebagai mata-mata pemerintah Jepang dalam rangka persiapan membangun kekuatan Asia Timur Raya.
Kisah soal spionase ini diperkuat penelusuran Kompas.com pada buku berjudul "Penetrasi Lewat Laut: Kapal - kapal Jepang di Indonesia Sebelum 1942".
Nah, saat berada di Tanah Air, wanita–wanita Jepang ini berhasil memikat hati para pejabat Belanda kala itu.
Mereka kemudian diperistri sehingga secara otomatis masuk dalam kelas warga Eropa. Sampai akhir hayat, kemudian dikuburkan di kerkhof.
"Setelah Indonesia merdeka, keturunan mereka ada yang pergi ke Eropa atau kembali ke Jepang. Beberapa di antaranya ada yang datang ke sini untuk melihat makam leluhur mereka," kata Akhmad, yang menulis buku berjudul "Kampoeng di Bangka".
Tulisan makam rusak
Tempat buang sampah
Sebagai warisan sejarah, makam kerkhof Pangkal Pinang mulai dibenahi pertengahan 2016 lalu. Kompleks pemakaman itu ditanami rumput dan dilengkapi jalan setapak.
Kerkhof sebelumnya sempat terabaikan, tidak tertata, bahkan dijadikan lokasi pembuangan sampah oleh warga sekitar dan pedagang kaki lima. Pemerintah daerah sempat beralasan tidak memiliki anggaran untuk melakukan perawatan.
Kondisi tersebut mengundang keprihatinan banyak pihak. Kalangan sejarawan dan penggiat wisata angkat suara. Akhirnya, mereka berhasil meyakinkan pemerintah untuk memperhatikan kelestarian makam.
Secara bertahap mulai dilakukan perbaikan, hingga saat ini kondisi makam menjadi taman yang nyaman untuk dikunjungi.
Dua petugas makam yang dibiayai Pemkot Pangkal Pinang dan Balai Pelestarian Cagar Budaya, bergantian untuk menjaga dan membersihkan makam.
"Sekarang sudah mulai terawat. Dulu memang semrawut. Bahkan bekas pembalut wanita pernah dibuang ke sini," ujar petugas makam, Heri.