Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mehamat Br Karo Sekali, Pejuang Alih Aksara Batak

Kompas.com - 03/12/2016, 08:00 WIB

Bulu kuduk

Mehamet yakin, ajaran-ajaran yang dituliskan nenek moyang orang Batak tidak ditulis sembarangan. Ada doa dan tirakat dalam setiap aksara yang ditulis. Berbagai pengalaman ia rasakan saat mencoba membaca naskah kuno yang ternyata isinya mantra. Tak jarang ia harus menghentikan kegiatannya karena merasa ketakutan dan bulu kuduknya berdiri.

Kitab-kitab kuno Batak, lanjut Mehamat, biasanya berisikan keterangan tentang ramuan obat-obatan, ramalan hari buruk dan hari baik, mantra-mantra, serta berbagai pedoman dan hidup sehari-hari. Naskah-naskah itu biasanya ditulis di atas kulit kayu ulin, gading gajah, tulang kerbau, dan bambu.

Alat yang digunakan untuk menulis naskah-naskah kuno tersebut ialah bulu ayam. Adapun tinta yang digunakan berasal dari ramuan hasil bakaran kayu jeruk purut yang dicampur air tebu.

Khusus untuk naskah yang ditulis dari kulit kayu, orang-orang tua zaman dulu membentuknya menjadi sebuah kitab yang terdiri atas 30 lembar hingga ratusan lembar. Biasanya Mehamat membutuhkan waktu 1 minggu hingga 3 bulan untuk menerjemahkan sebuah naskah.

Saat ditemui pada Jumat (28/10), ia sedang menerjemahkan naskah Maniti Ari. "Naskah ini berisi anjuran atau pedoman untuk menentukan hari baik dan buruk. Kapan waktu bercocok tanam yang baik, kapan waktu mengadakan upacara yang baik, semua ada di sini," ujarnya.

Sadar akan kekayaan naskah kuno, Mehamat terkadang mencari tahu di mana naskah-naskah kuno Batak tersimpan. Ia kaget bukan kepalang saat mengetahui ada ratusan naskah kuno tersimpan di Perpustakaan Leiden di Belanda.

Sebenarnya, kata Mehamat, sudah ada upaya untuk membawa pulang naskah-naskah kuno Batak itu ke Indonesia. Namun, pihak Perpustakaan Leiden keberatan karena Indonesia belum memiliki ruang penyimpanan yang sesuai dengan standar yang berlaku di Belanda.

Oleh karena itulah, Mehamat memiliki keinginan besar untuk dapat berkunjung ke Perpustakaan Leiden. Ia ingin mengetahui naskah apa saja yang tersimpan di sana.

"Satu bulan saja saya di sana, ingin saya baca semua naskah yang ada di sana. Siapa tahu ada kisah atau ajaran penting yang belum kita ketahui, padahal itu berguna bagi kehidupan orang Batak," katanya.

Fenomena letusan Gunung Sinabung yang tak kunjung henti merupakan salah satu pertanyaan besar buat Mehamat. Ia yakin, ada sebuah naskah kuno yang bercerita tentang Gunung Sinabung. Namun, hingga saat ini, ia belum menemukan naskahnya. Ia berharap suatu ketika menemukan naskah itu.

"Mungkin naskah itu tersembunyi di Leiden," ujarnya.

Mehamat mengatakan, aksara Batak sejatinya tak jauh berbeda dengan aksara-aksara tradisional lain. Jika suku Jawa memiliki aksara Hanacaraka dan suku Lampung memiliki aksara Kaganga, suku Batak memiliki aksara Hakabapa yang terdiri atas 16 aksara.

"Suku Batak memiliki lima subsuku besar, yaitu Karo, Toba, Simalungun, Angkola/Mandailing, dan Pakpak/Dairi. Kelimanya memiliki aksara tersendiri. Namun, kalau sudah mengusai salah satu aksara, mudah untuk memahami aksara lain," ujar perempuan kelahiran 12 Agustus 1965 itu. (Angger Putranto)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Desember 2016, di halaman 16 dengan judul "Pejuang Alih Aksara Batak".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com