Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agar Adat dan Tradisi Suku Pakpak Tak Hilang Digerus Zaman...

Kompas.com - 13/11/2016, 14:48 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Hilangnya sejumlah suku di Indonesia membuat resah Ketua DPRD Kabupaten Pakpak Bharat Sonni P Berutu. 

Sonni memahami, banyak suku hilang akibat terdesak oleh suku lain yang mencari permukiman baru, hingga menghilangkan adat dan budaya setempat.

Ayah tiga anak ini tak ingin sejarah, suku, tanah ulayat, adat dan budaya Pakpak pun hilang digerus pendatang.

Bagi Sonni, suku Pakpak adalah suku yang penuh toleransi. Suku itu membuka tangan lebar-lebar untuk orang-orang baru untuk hidup berdampingan. Namun, identitas adat mereka menghilang secara perlahan.

Berangkat dari kekhawatiran ini, Sonni yang mendapat dukungan penuh dari Bupati Remigo Yolanda Berutu mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pakpak pada 11 Juli 2016.

Tujuannya, untuk menjaga, memayungi dan membentengi semua kearifan lokal, adat istiadat dan budaya suku Pakpak.

"Ini janji pribadi saya terhadap suku Pakpak bahwa saya akan menerbitkan perda terkait budaya. Makanya begitu saya dilantik jadi ketua DPRD, sebulan kemudian saya inisiasi perda ini menjadi prolegda," ucap Sonni saat ditemui di ruang kerjanya pada Jumat (11/11/2016).

Menurut Sonni, begitu pentingnya perda ini disebabkan suku Pakpak dengan jumlah yang besar, tapi tidak mampu, ragu-ragu, atau malu menunjukkan jati dirinya.

Banyak suku Pakpak yang dianggap melepas nama marganya dan tidak memakai bahasa ibunya. Sering ditemui, di satu keluarga suku Pakpak malah menggunakan bahasa suku lain.

"Sedih kita, kalau bahasa nasional masih bisa kita terima. Ini yang mendasari, waduh bahaya ini, suku Pakpak begitu besar tapi terancam," ujar Soni.

Kelemahan perda ini dan perda-perda lain di seluruh Indonesia adalah tidak adanya sanksi hukum.

Meski mewajibkan menggunakan adat dan budaya Pakpak di setiap kegiatan, tapi aparat hukum tidak bisa berbuat apa-apa ketika misalnya satu keluarga yang melakukan pesta pernikahan beda antar-etnis, memakai adat suku lain.

"Semua regulasi seperti ini. Bicara sanksi hukum, sanksi pidana, ketika tidak dilaksanakan akan diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Entah apa peraturannya?" ujar Sonni sambil tertawa.

Sonni mengaku sedang mencari referensi yang bisa mendukung penguatan-penguatan itu. Mungkin nanti, bisa menggunakan sanksi sosial bagi pelanggar aturan. Kemudian melahirkan pedoman tata cara adat yang dipedomani semua marga suak Simsim.

Sedikit bocoran dari Sonni, saat ini DPRD sedang menggodok rancangan perda soal tanah ulayat, marga-marga Pakpak Simsin dan menginventarisi aset-aset milik suku.

"Kayak Pelleng, ini satu-satunya makanan khas Pakpak yang harus dipatenkan. Banyak lagi sebenarnya, doakanlah biar DPRD-nya produktif. Budaya dan adat ini bagian dari sejarah, siapa yang menghargainya akan besar," ujar Sonni.

Dia berasumsi, mungkin kurangnya menghargai sejarah ini menjadi salah satu indikator suku Pakpak tidak bangkit dan muncul ke permukaan.

Padahal, sudah banyak orang-orang suku Pakpak sukses di kancah provinsi dan nasional, tapi sayang, marganya dihilangkan ketika sukses. Kebanyakan marga pengganti adalah marga dari suku Batak Toba.

Namun, menurut Sonni, untung saja, almarhum Husni Kamil Manik yang merupakan mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum tidak melakukan itu.

"Apakah untuk berbaur dengan suku lain, marga Anakampun, Bancin, Tumangger, Boangmanalu mesti beralih marga semua," ujar Sonni.

Sonni pun meminta pemerintah memperhatikan suku Pakpak, membantu mengembangkan potensi daerah dengan infrastruktur.

Atas nama masyarakat Pakpak Bharat, Sonni ingin warga punya rumah adat yang layak dan bisa menjadi kebanggaan semua pihak.

"Belum ada bantuan pusat sama sekali, jadi tolong dibantu dan perhatikanlah kami," kata politisi Partai Demokrat itu.

Kekhawatiran

Sebenarnya suku Pakpak di Kabupaten Pakpak Barat bukanlah suku marjinal.

"Saya orang Pakpak, ketua DPRD-nya orang Pakpak, ini dari persentase pemerintahan. Kontraktornya orang Pakpak, petaninya orang Pakpak, pelaku usahanya juga orang Pakpak, tidak ada suku Pakpak yang kami pinggirkan," kata Bupati Pakpak Barat, Remigo Yolando Berutu.

Dalam konteks melindungi suku, perda tentang perlindungan budaya Pakpak dianggap maju, karena tidak ada yang tahu nasib suku Pakpak ke depannya.

Alasan lain, empat suak suku Pakpak yang berada di luar Kabupaten Pakpak Bharat nyaris hilang.

"Kekhawatiran ini yang menyemangati kami menjadikan Perda sebagai langkah awal perlindungan," ucap Remigo.

Bupati dua periode itupun memberikan contoh. jika marga Ujung meninggal dunia dan ingin dikebumikan di tanah ulayat marga Ujung, tanahnya sudah tidak ada lagi. Sudah jadi milik suku lain.

"Mungkin kalau ada marga Ujung yang meninggal tak ada lagi tempatnya di tanah Ujung. Begitulah kira-kira," kata Remigo.

Perda tersebut menjadi pemicu untuk memperbaiki semua kekurangan, Remigo pun dalam kebijakan-kebijakannya mengacu pada isi Perda bahwa adat harus dilindungi di setiap mengambil keputusan.

Kemudian, kebijakan harus memberikan dampak peningkatan ekonomi masyarakat dari sektor pariwisata dan pengembangan budaya, adat istiadatnya.

"Pakpak Bharat sudah menunjukkan jati dirinya, sudah menasional. Upaya-upaya kita lakukan supaya orang tahu ada suku Pakpak. Semoga perda ini menjadi model bagi daerah-daerah lain," kata Remigo.

Sulang Silima

Hasil kerja wakil rakyat Kabupaten Pakpak Bharat selain melahirkan Perda Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pakpak adalah adanya Perda tentang Lembaga Adat Sulang Silima Marga-marga Pakpak Suak Simsim.

Fungsinya, menjadi koordinator dan fasilitator lembaga-lembaga adat marga yang ada di Pakpak Bharat untuk mendukung kerja pemerintah daerah.

Namun, Ketua Dewan Pertimbangan Sulang Silima marga Manik Pergetteng-Getteng Sengkut (DP PGGS) yang juga Ketua Lembaga Adat Budaya Pakpak Simsin (LABPS), St Gr JH Manik (79) punya pandangan sedikit berbeda saat dimintai tanggapannya.

"Sebelum ada Jepang, Belanda, dan pemerintahan Republik Indonesia, Sulang Silima ini sudah ada," kata pria yang akrab disapa Empung Jordan tersebut.

KOMPAS.com / Mei Leandha Ketua Dewan Pertimbangan Sulang Silima marga Manik Pergetteng-Getteng Sengkut St Gr JH Manik mengenakan baju pemimpin suku Pakpak dan mengajak orang Pakpak untuk bangga dengan identitasnya
Apa itu Sulang Silima? Ini adalah sistem organisasi sosial yang dijunjung tinggi masyarakat Pakpak, yang terdiri dari susunan kekerabatan yang melekat pada satu marga.

Ada lima unsurnya, yaitu Berru, Puang, Sebeltek, Sinina dan Kula-kula. Kelima unsur ini menjadi penentu dalam setiap pengambilan keputusan dan pemberi sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran.

"Di sinilah polisinya, jaksanya, rajanya, di satu kampung itu. Siapa yang tua, itulah dituakan. Kalau dulu, kalau sudah dibilang Sulang Silima orang ini bersalah, potong di atas air, itu hak mereka. Kalau sekarang tidak mungkin lagi," ucap pensiunan guru ini.

Maka Sulang Silima tidak bisa dibentuk orang lain, apalagi pemerintah.

Pihaknya melakukan protes saat DPRD mengeluarkan rancangan pembentukan Sulang Silima Kabupaten Pakpak Bharat. Untuk mengakomodir protes itu, dilakukanlah revisi hingga muncul Ranperda Sulang Silima Suak Simsim.

"Yang ada itu Sulang Silima marga Manik, Sulang Silima marga Berutu, Sulang Silima marga Padang. Tidak ada hak saya membentuk Sulang Silima marga Berutu, merekalah yang membentuk," kata dia Empung Jordan.

Tidak dibentuk pun, Sulang Silima sudah lahir alami di setiap marga Suku Pakpak. Kini, yang perlu dibentuk adalah kepengurusannya sesuai dengan tuntutan jaman.

Misalnya, membuat AD - ART organisasi, mengurusi surat menyurat, hubungan dengan pemerintah, lembaga-lembaga adat lain, notaris, hukum, dan lainnya.

"Kalau dulu, pengurusnya buta huruf pun bisa, yang penting mengerti adat," ujarnya.

Empung Jordan mengatakan, untuk merangkul para Sulang Silima, dibentuklah forum seperti FKUB. Forum ini untuk menjalin kerja sama antar Sulang Silima, namun bukan pemerintah yang membentuk, supaya tidak ada intervensi.

Ketika akhirnya lahir Perda Sulang Silima Suak Simsim, dia mengaku setuju tapi dengan tujuan untuk mendorong masing-masing marga mendirikan lembaga adatnya.

"Kami mengapresiasi inisiatif DPRD dan pemerintah untuk melestarikan adat dan budaya, tapi maunya berikanlah wewenang itu kepada marga masing-masing. Jangan diintervensi, pemerintah cukup memfasilitasi dan mendukung saja. Ini harapan kami," kata dia.

Bangga

Pada 28 Juli 2003, Pakpak Bharat menjadi kabupaten mandiri setelah memisahkan diri dari Kabupaten Dairi. Hampir 90 persen penduduknya suku Pakpak, mayoritas bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.

Marga terbesar dan terbanyak di sini adalah Berutu, Banuarea, Boangmanalu, Manik dan Padang. Di kabupaten yang letaknya di kaki gugusan Bukit Barisan dan 83 persen wilayahnya adalah kawasan hutan ini, adat dan budaya suku Pakpak masih terjaga.

Masyarakatnya melawan gerusan zaman dengan tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan adat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menggunakan bahasa Pakpak, melakukan ritual adat saat mulai menanam padi dan pesta pernikahan.

Ditanya apakah suak lain juga masih melakukannya, Empung Jordan menggeleng.

"Di sini kalau tidak dilakukan dengan adat, rasanya janggal, namanya masyarakat adat. Semua perkawinan harus berjalan adatnya, di sinilah pelaksanaan adatnya masih murni dibanding daerah lain," ucap dia.

Tapi dia tidak memungkiri pengaruh budaya dan adat suku-suku lain membuat pergeseran budaya suku asli, khususnya pada perkawinan campuran.

Maka dibuatlah kesepakatan yang sudah disepakati bersama bahwa setiap pelaksanaan adat yang berlangsung di tanah Pakpak harus menggunakan adat Pakpak.

"Jangan mendominasi adat lain. Makanya ada falsafah, 'Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Banggalah jadi orang Pakpak," kata Empung Jordan, yang mengenakan baju pemimpin suku.

Dia menunjuk simbol dan garis-garis warna yang ada di pakaian gelap itu, semuanya penuh makna dan pesan kebaikan.

Pakpak Simsim

Dari beberapa catatan, disebutkan nenek moyang suku Pakpak berasal dari India. Barus adalah daerah pertama kali kaki mereka menginjak bumi Indonesia.

Kemudian mereka berkembang biak dan membangun kampung di daerah penuh pohon-pohon kemenyan, dalam bahasa mereka disebut Dairin. Lambat laun, Dairin berubah menjadi Dairi.

Sebelum pemekaran, Kabupaten Pakpak Bharat menyatu dengan Kabupaten Dairi, keduanya masih di wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Suku Pakpak terbagi dalam lima suak yaitu, Suak Simsim, Kelasen, Keppas, Pegagan dan Boang. Suak Simsim mendiami wilayah Kabupaten Pakpak Bharat, Suak Keppas dan Suak Pegagan di Kabupaten Dairi, Suak Kelasen di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Tapanuli Tengah khususnya Kecamatan Barus, dan Suak Boang di wilayah Kabupaten Singkil dan Kota Subulussalam, Aceh.

Pakpak Simsim terdiri dari marga Berutu, Padang, Solin, Cibro, Sinamo, Boang Manalu, Manik, Banurea, Sitakar, Kabeaken, Lembeng, Tinendung, dan lain lagi.

Mereka menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Simsim meliputi wilayah Salak, Situje, Situju, Kerajaan, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada dan Jambu, semuanya di Kabupaten Pakpak Bharat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com