Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuntut Pembayaran Lahan, Warga Dayak Tutup Lokasi Proyek Bendungan Tapin

Kompas.com - 17/10/2016, 08:06 WIB
Jumarto Yulianus

Penulis

RANTAU, KOMPAS.com – Warga adat dari Desa Pipitak Jaya dan Harakit, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, menggelar aksi protes dengan menutup lokasi proyek Bendungan Tapin, Minggu (16/10/2016).

Aksi itu digelar dalam rangka menuntut penyelesaian pembayaran lahan. Sebelum ada penyelesaian, proyek pembangunan bendungan yang mulai dikerjakan pada Oktober 2015 itu tidak boleh dilanjutkan.

Penutupan lokasi proyek Bendungan Tapin di Desa Pipitak Jaya, sekitar 30 kilometer dari Rantau, ibu kota Kabupaten Tapin dilakukan dengan ritual adat Dayak Meratus.

Jalan masuk lokasi proyek dirintangi dengan rotan, yang diikat pada tiang-tiang bambu. Pemasangan rotan itu disertai pembacaan mantra oleh Rusdiansyah, selaku Demang Adat atau Kepala Suku Dayak Meratus Kabupaten Tapin.

Ritual adat yang dimulai sekitar pukul 14.00 Wita itu berlangsung sekitar 15 menit. Usai pelaksanaan ritual adat, beberapa warga membentangkan karton putih bertuliskan berbagai tuntutan.

Aksi itu diikuti sekitar 50 warga dari Desa Pipitak Jaya dan Harakit. Dua desa tersebut bakal tenggelam saat waduk atau Bendungan Tapin digenangi.

Aksi warga berlangsung tertib dan damai. Meski begitu, warga yang menggelar aksi tetap mendapat pengawalan dari aparat TNI dan Polri. Saat aksi digelar, aktivitas proyek pembangunan Bendungan Tapin berhenti total. Semua alat berat sudah ditarik dari lokasi dan diparkir di lahan perusahaan kontraktor.

"Ini aksi warga yang ketiga kalinya. Setelah dua kali aksi, pembayaran lahan masyarakat tidak juga diselesaikan sebagaimana yang telah disepakati,” kata Sateran, tokoh masyarakat setempat.

Sateran menuturkan, warga pada awalnya meminta ganti lahan senilai Rp 100.000 per meter persegi. Namun, setelah tawar menawar, turun menjadi Rp 70.000, dan terakhir disepakati Rp 50.000 per meter persegi.

"Namun pada kenyataannya, sebagian warga yang telah menerima pembayaran lahan dibayar lebih rendah dari harga itu. Ada yang dibayar Rp 23.000 per meter persegi dan paling tinggi Rp 38.000 per meter persegi,” ungkapnya.

Menurut Sateran, dari sekitar 200 keluarga di dua desa tersebut, yang sudah menerima pembayaran lahan baru sekitar 20 persen.

"Dari 600 hektar lahan masyarakat yang harus dibebaskan, yang sudah dibayar baru 112 hektar,” katanya.

Ahmad Jayadi, ketua RT 04 Desa Pipitak Jaya mengemukakan, dari 38 keluarga di wilayahnya, baru 13 keluarga yang menerima pembayaran. Itu pun tidak sesuai dengan harga yang telah disepakati. Selain itu, juga tidak sesuai dengan sertifikat tanah milik warga.

"Tanah saya yang luasnya 15.000 meter persegi, hanya dibayar 2 meter persegi. Alasannya, tanah saya dalam garis penetapan yang tidak dibayar. Padahal, tanah saya terpakai untuk pembangunan bendungan,” tuturnya.

Bendungan Tapin termasuk program pembangunan 49 bendungan atau waduk yang dicanangkan pemerintah, selain melanjutkan pembangunan 16 bendungan dari pemerintahan sebelumnya.

Bendungan yang dibangun pada lahan seluas 600 hektar itu menelan biaya Rp 896,9 miliar. Selain untuk menunjang pertanian dan penyediaan air baku, Bendungan Tapin juga berpotensi menghasilkan listrik berkapasitas 3,3 megawatt (MW).

Dirugikan

Menurut Sateran, warga sangat dirugikan dengan kebijakan pembayaran lahan. Karena itu, warga menuntut pembayaran harus diselesaikan terlebih dahulu baru pengerjaan proyek bisa dilanjutkan.

"Kami mendukung pembangunan yang dilakukan pemerintah, tetapi kami juga jangan dikorbankan,” katanya.

Eddy Hari Poerwanto, Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Tapin dari Satuan Kerja Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Provinsi Kalsel, Balai Wilayah Sungai Kalimantan II yang datang menemui warga untuk berdialog, meminta warga bersabar.

"Senin, kita bahas lagi di aula kecamatan,” ucapnya.

Tahun ini, menurut Eddy, pihaknya mempunyai dana Rp 22 miliar untuk pembebasan lahan. Dana itu sudah diserahkan kepada tim appraisal (penaksiran).

"Dana masih tersisa Rp 1,5 miliar dan akan digunakan untuk pembayaran lahan dalam minggu ini. Kami juga masih menunggu pencairan dana dari pusat sebesar Rp 30 miliar yang dijadwalkan pada November,” ungkapnya.

Eddy menyampaikan, pembayaran lahan menjadi prioritas saat ini. Pembayaran itu diselesaikan oleh tim appraisal yang independen.

"Tim itulah yang menaksir harga lahan yang dibebaskan. Mereka berpedoman pada peta pengukuran dari Badan Pertanahan Nasional. Soal adanya perbedaan harga, kami tidak ikut-ikutan menentukan harga tanah. Semuanya ditentukan oleh tim yang independen tersebut,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com