Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Robohnya Tengkiang dan Hilangnya Daulat Tanah untuk Petani

Kompas.com - 31/08/2016, 09:25 WIB
Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com — Tengkiang, ladung, atau belubur pada masyarakat suku Serawai, Kabupaten Seluma, dan Bengkulu Selatan di Provinsi Bengkulu diartikan sebagai lumbung tempat penyimpanan padi.

Dahulu, semakin besar bangunan tengkiang menandakan semakin sejahteralah petani desa.

Kala itu, satu rumah petani memiliki satu atau dua tengkiang berukuran 2 meter x 4 meter atau 2 meter x 2 meter. Tengkiang terbuat papan atau bambu yang dibelah dan beratapkan daun atau seng.

Kini, keberadaan tengkiang menghilang karena banyak faktor, antara lain karena semakin kecilnya akses tanah oleh petani.

"Tengkiang bagi masyarakat suku Serawai tidak hanya sebagai tempat menyimpan padi untuk makanan pokok, tetapi juga memiliki nilai spiritual," kata Nahadin seorang petani di Kabupaten Seluma, Rabu (31/8/2016).

Masyarakat suku Serawai tidak menghabiskan padi dalam tengkiang untuk dikonsumsi. Sebagian di antaranya disisihkan untuk bibit.

Pada umumnya, menyimpan padi di lumbung memiliki spirit kearifan lokal, bukan sebatas tempat menyimpan padi hasil panen.

"Ada 'semangat' atau roh padi harus dipulangkan dulu ke rumahnya (lumbung). Baru setelah itu bisa dijemur jadi beras dan dijual-beli. Mekanismenya lebih kurang begitu," kata seorang pemerhati sosial budaya tani di Bengkulu, Nurcholis Sastro.

Ia menuturkan, benih padi yang ditinggalkan di pojok lumbung akan diturunkan musim tanam berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemuliaan roh dan benih padi, yang menjadi sumber kehidupan, dipelihara dan hidup dengan jiwa petani.

Saat ini, keberadaan tengkiang padi milik petani sulit ditemukan. Hasil panen lebih sering disimpan di rumah atau langsung diolah menjadi beras.

Berkurangnya jumlah petani juga memengaruhi keberadaan lumbung-lumbung rakyat tersebut.

Nahadin mengisahkan, dahulu petani setempat wajib memiliki lumbung. Seiring berjalannya waktu, petani padi beralih menjadi pekebun sawit atau pekerjaan lain. Bersamaan dengan hilangnya tanah garapan petani, hal itu menjadi indikator robohnya tengkiang.

Sengketa lahan

Kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh konflik agraria yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria pada 2012 sebanyak 198 kasus.

Jumlah itu meningkat menjadi 369 kasus pada 2013 dan bertambah lagi pada 2014 dengan jumlah 472 kasus.

Pada 2004-2010, terdapat 1.520 konflik agraria dengan luas areal konflik 6,5 juta hektar.

Nahadin menilai bahwa konflik agraria menjadi salah satu hilangnya areal tanaman padi milik ratusan petani di daerah itu.

"Ada banyak petani yang tanahnya digusur oleh perusahaan perkebunan, kelapa sawit, dan pertambangan. Saya memiliki sawah tahun 1986, tetapi hilang digusur perkebunan sawit. Melawan tetapi sia-sia, tanah tetap hilang dan saya dipenjara karena melawan," kata Nahadin.

Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu Beni Ardiansyah mengungkapkan, Bengkulu menduduki predikat tertinggi dengan jumlah 38 orang petani yang menjadi korban konflik agraria secara nasional. Jumlah korban di Bengkulu tersebut lebih banyak dibandingkan Sulawesi Tengah dan Lampung.

"Korban tersebut meliputi dipenjara, ditembak aparat, dan lainnya. Data dikumpulkan sejak tahun 2012. Mereka berkonflik dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan," kata Benny.

Potret konflik agraria ini menggambarkan betapa buruknya pembangunan agraria di Bengkulu.

Alih fungsi lahan

Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Bengkulu mencatat, dalam delapan tahun terakhir, terdapat 63.800 hektar sawah menghilang atau beralih fungsi.

Delapan tahun lalu, luas sawah Bengkulu mencapai 116.000 hektar, tetapi kini tersisa 79.800 hektar akibat alih fungsi, abrasi, dan permukiman.

Alih fungsi juga terjadi karena minimnya sarana irigasi yang menjamin ketersediaan air untuk sawah petani.

Dalam 20 tahun ke depan, Bengkulu harus melakukan antisipasi agar sawah tak terus hilang dan tentunya mengancam ketahanan pangan.

Staf Khusus Utama Kepala Kantor Staf Kepresidenan Noer Fauzi Rahman menyatakan, setiap menit ada satu rumah tangga petani di Indonesia "menghilang".

"Orang adat itu ditinggalkan oleh pemuda adat. Secara statistik nasional, perginya orang-orang muda ke kota meninggalkan tradisi bertani, berladang, nelayan satu periode waktu lima hingga 10 tahun berkurang 5 juta orang. Artinya, satu rumah tangga petani hilang setiap satu menit," kata Noer Fauzi dalam seminar hari internasional masyarakat adat sedunia di Museum Nasional, Jakarta, Senin (8/8/2016).

Anak petani dan masyarakat adat ketika ditanya soal pekerjaan mereka akan menjawab tak mau tinggal di desa. Hal ini, kata dia, merupakan krisis terbesar pendidikan di Indonesia.

"Ujung dari pendidikan adalah menjadikan hasil pendidikan sebagai komoditas, mengakibatkan pemuda meninggalkan desa sehingga yang tinggal di desa adalah orang 'sisa'," kata dia.

Persoalan ini menyebabkan krisis di desa dan komunitas masyarakat adat. Krisis tersebut meliputi krisis air, pangan, lingkungan hidup, dan lainnya. Industri yang masuk ke masyarakat bersifat mengambil dari masyarakat tidak menyejahterakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com