Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Makna Kemerdekaan Sayup-sayup Terdengar di Kampung Mantan Tapol

Kompas.com - 17/08/2016, 23:04 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com – “Saya tidak akan pernah pasang bendera. Siapa bilang sudah merdeka. Saya masih dijajah lahir batin. Anda yang sudah merdeka. Saya belum merdeka,” kata Aloysius Pailan (78), mantan tahanan politik, Rabu (17/8/2016).

Pailan, satu dari ratusan tapol yang turut merasakan pembuangan di Kelurahan Argosari, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Ia mantan tentara dengan pangkat terakhir Kopral Dua sebelum masuk penjara di tahun 1970.

Masa kelam itu menyisakan bekas di beberapa bagian tubuhnya. Dua bekas luka di batok kepalanya yang menurut Pailan akibat dipukul dengan papan nama meja.

Gigi depannya ompong empat gigi yang menurutnya juga karena dicabut paksa semasa penahanan itu. “Dipaksa mengaku apa yang tidak saya perbuat,” kata Pailan.

Belum lagi, ia berduka karena dipisahkan dengan anak dan istri. Istri menikah lagi. Sejak itu, satu dari dua anaknya tak mengakui lagi dirinya sebagai ayah, hingga umur sang anak 32 tahun.

Stigma tapol

Semua stigma tapol membekas dalam pada dirinya. Ia pula yang paling gigih menyuarakan batin sesama tapol di kampung itu.

KOMPAS.com/Dani J Wagiran dan Pailan, eks tapol Kelurahan Argosari, Samboja, Kukar, menceritakan kisah pilu di masa kelam era 1965.
Karena itu, kata Pailan, kemerdekaan sejatinya tidak dirasakan para tapol. Apalagi, kata dia, stigma tapol membuat mereka serba dibatasi bahkan hingga kini.

Pembatasan itu dari hal kecil hingga besar, mulai dari menjadi ketua RT masih dipersulit, memasukkan anak menjadi pegawai negeri, tentara, atau polisi pasti ditolak.

Ia mencontohkan bagaimana sang cucu ditolak masuk TNI Angkatan Laut di Surabaya. Isu tapol bahkan masih terus dihembuskan hingga kini.

Salah satu stigma yang berat bagi mereka, kata Pailan, adalah saat Sudomo, saat itu Pangkomkamtib berpangkat Letjen, mampir ke Kaltim tahun 1976.

Mereka dibikin semakin rendah diri karena dianggap pelaku pengkhiatan pada negara dengan pembalasan yang akan dirasakan hingga tujuh turunan.

“Kalau satu keturunan itu sama dengan 60 tahun, hukuman ini akan kami rasakan sampai 420 tahun. Tidak adil,” kata Pailan.

Ia menegaskan, “Dengan semua itu, bagaimana kami dinyatakan merdeka.”

Tidak mengibarkan bendera bukan tidak mencintai negeri ini lagi. Sikap itu hanya menunjukkan protes bahwa pemerintah masih saja memperlakukan mantan tapol dengan tidak adil.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com